Cara Memotivasi Anak Part 3

Diana masih tak percaya dia orgasme di depan mata anaknya sendiri. Lupakan tujuh
tahun tak terjamah, tahun ini mesti beda. Diana senang anaknya akan keluar main. Tak
mengejutkan, semenjak Diana tak lagi berpakaian, anaknya selalu di dekatnya. Kini
Diana lega anaknya akan keluar hingga bisa membuat Diana menghabiskan waktu
sendiri.
Saat sedang mencuci piring, Diana mendengar suara pintu ditutup. Diana tak tahu kapan
anaknya pulang maka dari itu Diana memutuskan untuk mengefektifkan waktu.
Langsung Diana menyelesaikan pekerjaannya dan bergegas ke kamarnya.
Setelah menutup pintu kamar Diana mengambil dildo di laci. Dulu Diana beberapa kali
memakainya saat bersama suaminya. Namun semenjak kematian suaminya, gairah
seksualnya seolah ikut mati.
Diana merebahkan diri sambil memegang vibrator. Jempolnya pun menekan tombol
saklar, namun tiada yang terjadi. Pasti batrenya mati, pikir Diana. Untungnya Diana
selalu beli batre buat anaknya.
Diana mencoba membuka penutup batre sambil berjalan ke kamar anaknya. Diana pun
memutar gagang pintu hingga pintu kamar anaknya terbuka.
Diana pun melangkah masuk mendapati anaknya sedang berbaring, celana ada di
lututnya dan tangan ada di penisnya yang tegang.
Diana meminta maaf, berbalik lalu keluar dan menutup pintu kamar anaknya. Diana
kembali ke kamarnya sendiri dengan jantung yang berdetak lebih kencang, seperti
genderang mau perang. Diana tak bisa menyingkirkan penis anaknya dari pikirannya.
Kira – kira seperempat jam kemudian setelah hatinya tenang, Diana kembali kembali
mengetuk kamar anaknya. Setelah suara anaknya berkata masuk, Diana pun masuk.
Diana melihat anaknya sedang duduk di depan monitor. Diana pun duduk di kasur
bersebelahan dengan kursi yang diduduki anaknya.
“Maafkan mama nak. Mama kira kamu keluar main.”
“Gak jadi mah. Tadi temen bilang ada urusan.”
“Mama gak tahu sih.”
“Iya. Lagian mama ada perlu apa sih?”
“Mama butuh batre.”
“Mama lagi megang apaan tadi?”
Diana merasa malu, “mainan dewasa yang kehabisan batre.”
Akhrinya Dana berbalik. Meski masih merasa malu namun Dana tersenyum jua.
“Mama bercanda ah.”
“Gak juga. Mama buru – buru, karena, ingin cepet selesai, sebelum kamu pulang,” Diana
bisa merasakan wajahnya memerah.
“Jadi mama mau ngelakuin, ehm, yang mama liat Dana lakuin?”
“Kira – kira.”
Ibu dan anak itu pun saling tatap, lalu keduanya tertawa.
“Maafin mama ya nak,” kata Diana sambil menyeka matanya.
“Iya mah, lagian mama gak salah kok.”
“Mama boleh nanya gak?”
“Ya.”
“Apa kamu sering ngelakuin itu?”
Diana merasa malu melihat anaknya yang terlihat malu.
“Sekarang sih jadi sering setelah mama telanjang terus.”
“Serius dong. Mama tau mama gak jelek – jelek amat tapi, mama kan udah tua. Terus
mama juga ibumu.”
“Dana serius kok mah, mama masih cantik.”
“Gombal. Tiap lelaki pasti ngomongnya gitu. Tapi mama seneng masih bisa
meng’inspirasi’ anak muda kayak kamu.”
Gambaran Dana memegang kemaluannya muncul lagi di kepala Diana.
Diana pun bangkit, “sekali lagi maafin mama yah.” Setelah itu Diana berbalik menuju
pintu.
“Tunggu mah!”
Diana kembali berbalik melihat anaknya membuka laci meja.
“Mama butuh batre apa?”
“Dua batre remot.”
Dana pun menyerahkan batre ke mamanya.
“Mama jangan marah ya, tapi apa boleh kapan – kapan Dana nonton mama?”
Diana menatap anaknya sambil memainkan batre di tangannya. Diana mulai sedikit
khawatir akan hal ini.
“Gak tahu. Mama mesti pikirkan dulu, tapi tenang saja mama gak marah kok. Asal kamu
jujur dan terbuka sama mama.”
Diana menghampiri anaknya lalu mencium pipi anaknya. Setelah itu Diana keluar kamar
namun saat akan menutup pintu anaknya bilang agar biarkan saja terbuka.
Diana melangkah ke kamarnya lalu masuk dan membiarkan pintu terbuka. Diana pun
duduk di kasur lalu memasang batre dildo.
Kini, rasanya masturbasi membuat Diana gugup. Padahal ini bukanlah kali yang
pertama. Diana juga merasa bangga bisa menahan diri untuk tidak masturbasi hingga
sekarang padahal cukup lama dia telanjang di depan lelaki. Mungkin jika dia dan
anaknya menahan diri untuk tak masturbasi keadaan akan baik – baik saja.
Namun, tanpa mereka sadari, kejadian ini merupakan awal dari kaburnya batas – batasan
yang telah disepakati. Entah sampai kapan hingga salah satunya mulai tak bisa menahan
diri.
Sejauh ini tak ada kejadian yang menkhawatirkan. Bahkan kebiasaan buruk Dana mulai
menghilang, Dana mulai belajar bertanggung – jawab.
Diana mulai menyalakan vibrator dan melihatnya sebentar. Setelah itu Diana mematikan
vibrator dan meletakkan di pangkuannya. Diana tiba – tiba teringat permintaan anaknya.
“Dana, sini nak!” suara Diana agak keras.
Dana memasuki kamar mamanya, “ada apa mah?”
“Gini aja. Tadi mama gak sengaja liat kamu, biar adil mama izinin sekarang kamu liat
mama.” Diana mengangkat vibratornya lalu menunjukkannya ke anaknya, “tapi ingat,
jangan sentuh apa – apa.”
“Kok mama punya yang gituan sih?”
“Oh, dulu saat mama lagi liat film sama papamu, ada adegan satu wanita main dengan
dua pria. Mama iseng bilang ingin nyobain kayak gitu, eh esoknya papamu kasih mama
hadian ini.”
“Kayaknya mama dan papa harmonis bener yah?”
“Udahlah nak, jangan bicarain papamu lagi. Sekarang mending kamu duduk aja.”
Dana pun duduk di sisi kasur sedang mamanya berbaring di tengah.
“Papamu beberapa kali nonton mama gini kayak kamu, dulu.”
Diana menatap anaknya yang sedang membasahi bibir dengan lidahnya. Diana menarik
nafas dalam – dalam, santai lalu melebarkan kakinya. Diana mendekatkan dildo ke
mulutnya. Anaknya mengamati dengan seksama.
“Jangan pernah gunain ini jika masih kering, harus dibasahi dulu.”
Dana mengangguk saat melihat mamanya menempatkan dildo di mulutnya. Dana
merasakan kedutan di celananya.
Diana mulai mengulum dildo di mulutnya dengan pelan. Setelah dirasa agak basah,
Diana melepas dan mulai menyalakan vibrator. Dana dapat mendengar dengungannya.
Diana mulai menyentuhkan vibrator melingkari payudaranya hingga puting. Sedangkan
tangan satunya lagi mengelus selangkangannya sendiri.
Erangan Diana mulai terdengar disertai turunnya vibrator dari payudara ke perut, lalu ke
sekitar jembutnya. Sementara tangan yang satunya sibuk keluar masuk di
selangkangannya. Diana lalu mencabut jemarinya yang kini basah dan menghisap
dengan mulutnya.
Diana menoleh melihat anaknya yang menatap dildo. Diana tetap melihat anaknya saat
tangannya yang satu mulai memainkan payudaranya. Kini Diana berusaha memasukan
dildo ke memeknya yang makin basah. Nafasnya mulai terengah – engah.
Diana mengangkat dadanya dan melepaskan tangan dari payudaranya. Kini tangan yang
bebas mulai menyentuh pinggulnya dari belakang. Kini jempol Diana menekan anusnya
sendiri. Rupanya jempol itu berusaha memasuki anus. Erangan Diana makin terdengar
keras.
Diana berusaha menekan dildonya sedalam mungkin seiring dengan usaha jempol di
anusnya.
“Oh, nak…!”
Diana pun mengejang membuat kasurnya gemetas untuk sesaat. Perlahan, Diana
kembali bergerak lalu mengeluarkan dildo dan jempol dari selangkangannya. Diana pun
berbaring sambil terengah – engah. Anaknya melihat tubuhnya yang penuh peluh.
Diana menyeka dahi dengan tangannya. Rambutnya penuh keringat hingga lengket.
Sementara dildo lepas dari tangnnya meski masih bergetar.
“Oh tuhan,” Diana tersenyum sambil menatap anaknya. “Bagaimana?”
“Luar biasa mah!”
“Itu yang kamu inginkan kan?”
“Ya, tapi kayaknya mama ingin pantat mama juga dijamah yah?”
Diana memerah memikirkan apa yang baru saja anaknya saksikan.
“Harus dilakukan dengan benar nak, karena sangat sensitif. Papamu kadang
melakukannya, tapi dia bisa berhati – hati.”
Diana lalu berbaring menghadap anaknya.
“Udah impas kan?”
“Iya. Tapi tetep Dana ingin mama ketuk dulu kalau mau masuk kamar.”
Dana mulai tak nyaman dengan rasa sesak di celananya. Dana lalu bangkit.
“Kalau kamu mau, mama bisa sangat menginspirasi. Tinggal ngomong saja sama
mama.”
Diana tersenyum mendengar erangan anaknya sambil menutup pintu kamarnya. Diana
lalu melangkah ke kamar mandi sambil melihat vibrator basah menggeliat di kasurnya.
Diana berpikir dia harus mulai menyetok batre di kamarnya sendiri. Tapi mungkin lebih
baik mengambilnya dari kamar anaknya saja.
“Apa kabarnya anak mama yang selalu terangsang ini?”
Diana muncul lalu menempelkan tubuh ke punggung anaknya karena mau mengambil
makanan di lemari. Putingnya serasa menggelitiki punggung.
“Ya makin terangsang karena mama nih.”
Diana menatap payudaranya yang menekan punggung anaknya.
“Maaf, abisnya mau ambil makanan sih.”
Diana mundur membuat tubuhnya tak lagi menempel. Dana berbalik dan matanya
menatap puting mamanya yang keras.
“Masih pagi gini kok udah keras sih mah?”
“Abis pake handuk sih, jadi gini nih,” kata Diana sambil mengelus puting dengan telapak
tangannya.
“Ceria bener pagi ini mah.”
“Iya dong. Kan biar semangat.”
“Mau ngapain aja mah hari ini?”
“Gak tau. Kamu maunya mama ngapain aja?” tanya Diana sambil menggoyangkan
bahunya. Otomatis payudaranya pun ikut bergoyang.
“Gimana bisa mikir kalau perut kosong mah.”
“Ya udah. Mama bikin panekuk aja ah. Biar bikinnya sambil goyang.”
Dana duduk lalu tertawa, “goyang sambil bugil.”
Diana lalu membungkuk untuk mengambil wajan dari bawah lemari sambil
menggoyangkan pantatnya, “goyang wajan nih.”
Bebepara saat kemudian setelah panekuk matang, keduanya pun sarapan.
“Apa anak perkasa ini mau menolong mamanya yang udah tua dan telanjang?”
“Siap. Mama kan tau caranya memotivasi tanpa busana.”
Dana tersenyum melihat mamanya tertawa.
“Apa mama juga suka telanjang di depan papa?”
“Gak juga. Tapi sehabis ngelakuin sesuatu, kayak ngebikin kamu, kadang mama
telanjang sampai sore atau malam.”
“Mama dan papa aneh juga ya?”
“Mama saling mencintai. Jadi mama dan papa hanya bersenang – senang saja. Lagian
meski tua, namun tak mesti berpikiran kolot.”
“Jadi menurut mama, anal seks, masturbasi dan bicarain trisom, normal gitu?”
Diana menunjuk ke anaknya, “Hei, trisom hanyalah fantasi. Lagian bukan salah mama
kalau papamu suka pantat. Urusan ranjang mama juga gak perlu jadi urusanmu. Wew,”
Diana lalu menjulurkan lidah ke anaknya.
Dana mengangkat alis mendengar pengakuan baru mamanya.
“Dana tahu cara ngabisin waktu hari ini mah.”
“Oh ya, ngapain tuh.”
“Tapi, mama jangan marah ya…”
Diana memotong ucapan anaknya, “akhir – akhir ini kamu doyan bener bener bilang
gitu?”
“Abisnya, mama telanjang sih. Bukan salah Dana kalau terangsang.”
“Iya. Jadi apa yang mau kamu katakan?”
“Yah. Pokoknya gak kan melewati batas kok.”
“Baik. Kalau gak ngelanggar aturan sih mama gak keberatan kok.
“Janji ya mama takkan marah. Meski Dana selalu terangsang, tapi Dana selalu nurut.
Hanya saja kini Dana makin penasaran.”
“Terus.”
“Dana,” mata Dana kini menatap meja, “ingin lihat seperti apa sih anal seks itu.”
“Apa? Kamu ingin mama bawa pulang pria lalu memberi pantat mama cuma – cuma
demi memenuhi rasa ingin tahu kamu?”
“Bukan begitu mah. Tapi pake mainan mama.”
“Pake itu? Sambil ditonton kamu? Kenapa gak cari tahu di internet saja?”
“Internet? Itu sih palsu mah.”
“Mama tak percaya kamu ingin nonton mama pake dildo di pantat mama sendiri.”
“Juga sambil Dana fotoin yah mah.”
Diana terkejut mendengarnya.
“Mama kan udah pernah sama papa. Lagian Dana gak bakal pegang – pegang kok, jadi
jangan marahi Dana dong.”
Diana menggeleng, “Mama kayaknya ngelahirin maniak. Biar mama pikirkan dulu.
Memang itu tak melanggar aturan kita, namun kayaknya terlalu jauh melangkah. Kalau
mama menolak apa kamu jadi gak mau bantuin mama?”
Dana memutuskan saatnya untuk pergi dari dapur. “Tentu tidak mah. Meski mama
menolak Dana tetap akan membantu kok. Panggil saja kalau ada yang harus dikerjain
mah. Cuma tadinya Dana takut mama marah.”
Dana pun bangkit lalu menuju ke kamarnya untuk main komputer.
Di dapur, Diana beres – beres. Lagi, perutnya kembali dilanda mules. Setelah beres, Diana
ke kamarnya lalu duduk di kasur sambil berpikir. Memainkan dildo ke pantat tak bisa
disebut normal jika dilakukan di depan anak sendiri. Apalagi sambil di foto. Diana tak
terlalu mengkhawatirkan hasil fotonya.
Diana tak ingin membuat anaknya marah. Jadi sepertinya tak berbahaya asal masih
dalam aturan. Apalagi dia telah masturbasi dua kali. Bahkan menyentuhkan jemari di
anus. Tak heran anaknya jadi penasaran soal anal seks. Diana kembali teringat saat
mengambil wajan sambil menggoyangkan pantat. Diana berpikir mungkin anaknya
seperti suaminya.
Diana teringat per – anal – an dengan suaminya. Diana juga ingat betapa nikmatnya
orgasme yang dirasakan saat masturbasi sambil ditonton anaknya. Diana jadi merasa
bersalah menyebut anaknya saat orgasme, bukan menyebut suaminya.
Tak pernah terpikirkan oleh Diana untuk menggantikan suaminya dengan anaknya.
Namun, Diana akui ketegangan seksual di rumahnya makin meningkat setelah Diana
memutuskan telanjang. Diana kembali memikirkan saat – saat bahagia dengan
suaminya. Begitu indah, liar dan nikmat. Kini, semuanya telah hilang.
Suaminya kurang suka diajak belanja. Jadi, untuk memotivasi suaminya, Diana
membuat sebuah permainan kecil. Jika sedang belanja, suaminya menantang dia untuk
melakukan lima hal, jika ada satu yang tak dipenuhi maka Diana kalah. Pun sebaliknya.
Hadiahnya, ya seks.
“Dingin bener nih kulkasnya. Biar agak angetan dikit, taruh bh mama di kulkas,”
suaminya menyeringai sambil menunjuk kulkas yang ada di supermarket. Diana pun
melepas kaitan bh, menarik tali dari lubang lengan bajunya hingga lepas. Kemudian
menaruh bhnya ke kulkas.
“Papa hutang bh baru,” Diana pun berbalik dan melangkah.
“Di bagian roti kok gerah bener yah. Buka aja cdnya di sini mah.”
Diana berhenti lalu menoleh ke suaminya, “Itu ngomong doang atau tantangan pah?”
“Kamu takut ada yang liat? Itu tantangan mah.”
Diana menatap suaminya sambil menyeringai. Diana melangkah ke sudut bagian roti,
mengangkat roknya, menggoyangkan pantat, menurunkan cd lalu mengangkat kaki
untuk melepasnya.
David menoleh mendengar suara wanita tua yang menggerutu kepada pria tua yang
menatap Diana. David ingin Diana menyadari kehadiran pasangan tua itu, maka David
menunjuknya. Diana tertawa menyadari apa yang David tunjuk.
Diana tersenyum sambil mengelus seprai. Delapan tahun tanpa belaian lelaki
membuatnya gila. Diana tak pernah menyadari perubahan yang terjadi sepeninggal
suaminya.
Meski menyukai pantat, namun David bisa dibilang wajar; munkin anaknya pun
demikian. Kematian suami membuatnya sadar betapa kita tak tahu kapan kehidupan ini
akan berakhir. Pikiran erotis itu membuat Diana sadar sekaligus menggelengkan kepala.
Diana pun melangkah mengambil hand body, kamera saku digital dan dildonya. Setelah
terkumpul Diana pun duduk.
“Sini nak!” teriak Diana lantang.
“Tunggu mah,” jawab Dana sambil bergegas ke kamar mamanya.
Diana merasakan jantungnya berdetak lebih kencang mendengar suara anaknya
mendekat.
“Mau ngapain dulu kita mah?”
“Nih,” Diana melemparkan kamera ke anaknya.
“Kamu ingin mama ngapain dulu?” Diana menunjukan bodylotion dan dildo ke anaknya.
“Maksudnya apa mah?”
“Misalnya berbaring dulu, terlentang atau berlutut.”
“Maksud mama ada banyak cara?”
“Duh, kayaknya bakal jadi masalah kalau mama kasih tahu semua yang mama tahu. Mau
telungkup,” Diana lalu telungkup, melebarkan pahanya. “Atau sambil berlutut,” Diana
berguling lalu bangkit berlutut. Diana menoleh ke anaknya.
“Gitu bagus mah.” Dana menatap kamera di tangannya. Merasa sangat beruntung.
“Setelah selesai boleh dipindahin ke komputer kan mah?”
Diana menatap anaknya sambil memuntahkan hand body ke tangannya. “Apa mama
perlu menambah aturan soal foto juga?”
“Tenang mah. Tak akan ada yang tahu kok.”
Dildonya kini dilumasi hand body. “Ingat, yang kayak gini mesti dilakukan oleh pasangan
yang saling mencintai. Wanita bukanlah daging yang bisa diolah seenaknya untuk
kesenanganmu sendiri. Wanita juga punya perasaan dan emosi. Hormatilah selalu itu!”
“Gini aja mah. Kalau mama memang tak nyaman, mending gak usah diteruskan deh.
Lagian Dana juga gak kan marah kok.”
“Makasih nak. Tapi mama rasa gak apa – apa kok. Kamu memang kayak papamu.”
Dana bisa melihat wajah mamanya yang penuh semangat.
“Biasanya pria membantu melumasi. Namun dalam kasus kita tentu tidak. Jadi mama
memakai jari sendiri untuk melumasi pantat mama.”
“Makasih mah.”
Diana mendengus tertawa kecil.
Dana melihat jemari mamanya perlahan masuk ke anus. Lalu tangan yang lain
menyemprotkan hand body ke anus. Setelah itu jemari lainnya mencoba masuk. Kini
telunjuk dan jari tengahnya sedang berusaha memasuki anus mamanya. Kedua jemari
itu bergerak berputar di dalam anus. Hand body kembali disemprotkan dan kini tiga jari
yang menari.
Diana melepas jemarinya lalu meraih dildo. Jempolnya berada di tombol.
Dana melihat lubang anus mamanya membuka lebar.
Diana menyentuhkan ujung dildo ke anus. Diana menatap anaknya yang berdiri
menganga, “Halo nak, mama udah siap nih!”
“Apa mah?”
“Pake kameranya dong!”
Setelah kamera itu berada di depan wajah Dana, Diana mulai memasukan dildonya.
“Uh… Kalau kamu ngelakuin ini sama cewek, mesti pelan – pelan karena awalnya sangat
tak nyaman,” kata Diana sambil menggerakan bibirnya. “Jangan pernah lakuin tanpa
pelumas!”
Diana berhenti sejenak saat setengah dildo sudah masuk. Dia bisa mendengar suara
tombol kamera ditekan. Setelah itu Diana melanjutkan aksinya.
“Kita biarkan dulu sejenak.”
Diana menggoyangkan pantatnya sambil mengawasi anaknya yang sibuk memakai
kamera.
Akhirnya, tangan Diana mulai menarik kemudian mendorong lagi dildo itu. Dana mulai
semakin sibuk dengan kameranya.
“Kamu menikmati pertunjukannya? Dasar anak sesat!”
“Bercanda terus ah mah.”
“Dulu papamu bahkan memakai video, bukan kamera kecil kayak gitu.” Tangan Diana
mulai bergerak cepat.
“Apa? Di film mah?”
Diana tertawa melihat anaknya sibuk mengutak – atik kamera. Diana menunduk dan
mulai mendorong dildo di anusnya lagi. Nafasnya mulai memburu.
“Oh, oh, oh.” Diana menjerit lalu lunglai jatuh ke kasur saat tubuhnya gemetar.
Tangannya kini berada di sisi kepalanya. Saat berbaring otot anusnya membuat dildo itu
perlahan keluar dan jatuh ke kasur.
Dana melihat anus mamanya membuka – tutup berulang – ulang.
“Keren,” kata Dana sambil memainkan zoomnya.
Diana mendengar jelas kata – kata anaknya. Tapi kesenangannya membuat Diana
mengangkat pantat dan melebarkan paha ke arah anaknya.
“Goyang pinggul goyang pinggul oh asiknya,” suara Diana terdengar serak.
Setelah bergoyang Diana pun lemas dan tergolai di kasurnya. Wajahnya penuh keringat.
“Kamu mesti bantu – bantu mama abis ini.”
“Iya mah, abis mindahin ke komputer.”
Dana bangkit lalu menghilang keluar. Diana meraih dildo di sampingnya lalu
menatapnya. Memang tak sama seperti saat bersama suaminya dulu. Tapi untuk
sekarang rasanya cukup. Tiba – tiba Diana tersenyum lalu memasukan dildo itu ke
mulutnya. Diana tetap mengulum dildo sambil melangkah ke kamar mandi.