My Beloved Cousins Part 1

Angin yang bertiup sore itu membuat beberapa rumpun pohon bambu di belakang
rumahku bergoyang-goyang, diiringi bunyi gemerisik dedaunannya.
Langit yang tak berawan masih tampak membiru. Begitu jernih kelihatannya.
Namun batinku masih saja berkemelut. Karena beberapa peristiwa yang telah
menggoreskan luka di hatiku ini.
Aku tak habis pikir, kurang apa lagi aku ini? Aku sudah mengangkat Ryan dari lumpur
pengangguran, menjadikannya tangan kananku di perusahaan peninggalan ayahku ini.
Dengan gaji besar pula. Kemudian dia menyatakan cintanya padaku, yang kuterima
dengan kedua tangan terbuka.
Dengan modal dengkul saja dia sudah bisa memperistrikanku. Bahkan membuatku
hamil dan melahirkan anakku yang lalu diberi nama Nindi.
Tapi ternyata aku salah pilih!
Setelah Nindi berusia 3 tahun, aku mulai bisa membongkar kelakuan Ryan. Fasilitas
perusahaan, seperti mobil, duit dan sebagainya, ternyata cuma dijadikan alat untuk
selingkuh di belakangku. Bahkan villa peninggalan ayahku, sering dijadikan untuk
menggauli perempuan!
Entah berapa orang cewek yang telah menjadi korbannya. Yang aku tahu saja ada tiga
orang cewek yang telah mengakuinya. Bahkan salah seorang di antara mereka sedang
hamil. Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka semua adalah pegawaiku!
Banyak lagi ulah Ryan yang aku malas menceritakannya satu persatu.
Maka wajar saja kalau aku minta cerai darinya. Dan ketika dia tak mau menjatuhkan
talak, aku pun langsung menuntutnya lewat pengadilan agama. Tanpa menghitung
berapa juta biaya yang harus kukeluarkan, asalkan aku bisa bercerai dengannya.
Setelah hakim mengetuk palu, bahwa aku sudah bukan istri Ryan lagi, dadaku terasa
lega. Meski sakit hatiku takkan gampang terobati.
Hakim juga memutuskan bahwa hak asuh Nindi jatuh ke tanganku. Karena sebelum aku
menuntutnya ke pengadilan, Ryan sudah kupecat dari perusahaanku. Berarti Ryan sudah
menjadi penganggur lagi seperti sebelum menjadi suamiku.
Memang kalau dipikir-pikir, kelakuan Ryan itu menggeramkan dan memuakkan. Betapa
tidak. Dia yang tadinya penganggur, setengah mengemis ingin bekerja di perusahaanku.
Lalu kuterima, karena biar bagaimana pun juga Ryan itu bekas teman kuliahku, tapi
hanya di semester ketiga dia DO, karena tidak punya biaya untuk melanjutkan kuliahnya.
Setelah bekerja di perusahaanku, Ryan mulai kelihatan gantengnya. Karena sudah
mampu membeli pakaian yang layak, berkat gaji yang diberikan oleh perusahaan
padanya.
Dan aku tidak heran kalau makin lama Ryan terasa makin dekat denganku. Bahkan pada
suatu hari ia terang-terangan menyatakan cintanya padaku.
Jujur, saat itu aku baru saja ditinggalkan oleh ayahku untuk selama-lamanya. Sementara
ibuku sudah tiada sejak aku masih kecil. Sebagai anak tunggal aku jadi merasa hidup
sebatangkara di dunia ini. Dan jelas aku membutuhkan seseorang yang bisa melindungi
dan bisa diajak bertukar pikiran dalam berbagai hal.
Maka tanpa ragu-ragu lagi kuterima cinta Ryan itu dengan kedua tangan terbuka. Bahkan
lalu Ryan menjadi suamiku.
Tapi kebaikanku dibalas dengan kelicikan yang luar biasa menyakitkan hatiku. Uang
perusahaan banyak yang ia gelapkan. Sementara aku pun bisa membongkar
perselingkuhan-perselingkuhannya. Ternyata uang yang digelapkan itu untuk menggaet
cewek-cewek lain.
Maka akhirnya aku mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan agama. Dan hakim pun
mengabulkan tuntutanku. Maka resmilah aku menjadi seorang janda dan terbebas dari
lintah bernama Ryan itu.
Aku jadi bebas lagi. Tidak terikat perkawinan lagi. Ke mana pun aku mau pergi, tak usah
minta izin kepada suami lagi. Dan yang lebih jelas, aku tidak memelihara lintah lagi.
Lintah yang menyedot duitku untuk menghamburkannya di atas perut cewek-cewek lain.
Ah… sudahlah. Aku malas membahas Ryan berkepanjangan.
Bahkan ketika Jon datang ke rumahku dan menanyakan masalah perceraianku dengan
Ryan, aku menjawabnya dengan ketus, “Gak usah bahas masalah Ryan deh. Males
ngomongin namanya juga.”
“Jadi kamu gak mungkin rujuk lagi sama Ryan?” tanya Jon yang saudara sepupuku itu.
“Sangat – sangat tidak mungkin. Kalau aku punya hak talak, Ryan itu sudah kujatuhi talak
tiga.”
Jon meringis. Lalu berkata setengah berbisik, “Jadi janda itu gak enak lho. Sering jadi
sasaran fitnah.”
“Biar aja. Yang penting hidupku tenang. Bisnisku lancar. Itu aja.”
“Semoga kamu mendapatkan calon suami yang jauh lebih baik daripada Ryan.”
“Gak mikir suami dulu dah. Mendingan konsen ke bisnis aja sekarang sih. Biarin aja
semua mengalir apa adanya. Gak usah dikejar – kejar cowok sih.”
“Tapi kamu tinggal sendirian di rumah segede gini, apa gak takut?”
“Kan ada Andi, Soni dan Maxi.”
“Andi anak Tante Salamah, Soni mmm… anak Oom Yuda kan?”
“Iya. Dan Maxi anak Tante Ika.”
“Baguslah kalau begitu.”
“Mereka tinggal di sini secara gratis semua. Yang penting setelah pulang kuliah harus
bantu – bantu kegiatanku.”
Jon memang saudara sepupu dari pihak ayahku, sementara ketiga adik sepupuku yang
tinggal di rumahku adalah saudara dari pihak ibuku. Karena itu Jon tidak begitu tau
seluk beluk keluarga Mama.
Setelah Jon pulang, aku mulai sibuk mengawasi sayur mayur dan buah – buahan yang
sedang dimuat ke atas truk – trukku. Sebenarnya usaha di bidang agrobisnis ini lumayan
meletihkan. Kalau Andi sudah selesai kuliahnya, mungkin aku akan mengangkatnya
sebagai pimpinan di perusahaanku. Entah akan kujadikan direktur atau manager,
entahlah.
Memang waktu masih punya suami, aku tidak sesibuk ini. Tapi celakanya income
perusahaan banyak yang dilipat oleh Ryan, lalu dihambur – hamburkan untuk cewek –
cewek yang gak jelas itu.
Itulah sebabnya yang menyebabkanku minta cerai darinya.
Tapi apakah aku sudah tidak membutuhkan lagi lelaki di dalam kehidupanku?
Inilah masalahnya. Karena lebih dari setahun hidup menjanda, aku sering
membayangkan sentuhan lelaki. Tapi aku malas memperlihatkannya di depan publik.
Bahkan aku sempat membeli vibrator yang bisa dimasukkan ke telunjukku, panjangnya
pun hanya seruas jari telunjukku. Vibrator mini ini sering kutekankan ke permukaan
kemaluanku. Bahkan terkadang kumasukkan ke dalam liang kewanitaanku.
Ini membuatku terpejam – pejam dalam nikmat.
Tapi aku tahu bahwa ini cuma kenikmatan semu. Bahkan setiap selesai menggunakan
vibrator super mini itu, aku selalu malu sendiri. Malu karena perbuatanku sendiri.
Aku ingin hubungan sex yang normal. Hubungan sex dengan manusia hidup, bukan
dengan alat yang bisa bergetar doang tanpa bisa meludah. Tapi dengan siapa? Bukankah
aku selalu membatasi diri untuk tidak sembarangan bergaul dengan lawan jenisku?
Sedangkan yang jelas ada di rumahku sendiri, adalah ketiga adik sepupuku itu. Mungkin
aku harus memilih salah seorang di antara mereka.
Dan akhirnya hatiku memilih Andi. Karena Andi paling dewasa di antara ketiga adik
sepupuku itu. Andi sudah berusia 20 tahun, sementara Soni dan Maxi sama – sama baru
18 tahun.
Aku memilih Andi, karena selain paling dewasa di antara adik – adik sepupuku itu, Andi
paling rajin membantuku. Selain daripada itu, Andi bisa nyetir mobilku dengan halus,
sudah punya SIM pula. Bahkan belakangan ini kalau aku punya keperluan di tempat yang
agak jauh dari rumahku, selalu Andi yang kuminta nyetirin mobilku.
Tubuh dan tampang Andi juga tidak mengecewakan. Dia lumayan ganteng, tubuhnya
pun tinggi tegap.
Menurutku, Andi cukup memenuhi syarat untuk meredakan amukan birahiku yang sering
menggalaukan perasaanku belakangan ini.
Maka pada suatu sore, kebetulan Andi sedang libur kuliah, aku memintanya untuk nyetir
ke Sukabumi.
Andi mengiyakan dengan sikap bersemangat, karena dia paling senang kalau disuruh
nyetir ke luar kota.
Beberapa saat kemudian aku sudah duduk di seat depan kiri, sementara Andi mulai
serius di belakang setirnya.
“Ada tagihan yang macet beberapa bulan ini Di,” kataku ketika Andi sudah melarikan
mobilku ke luar kota.
“Iya Teh. Yang minta kopi arabica untuk ekspor itu ya?” sahutnya.
“Iya. Makanya kita harus pergi sore – sore gini. Karena kalau siang gak ada di rumah
terus.”
“Iya Teh.”
Mobilku meluncur terus di jalan raya. Terawanganku pun melayang – layang terus.
Tentang indah dan nikmatnya surga dunia. Tentang gesekan – gesekan surgawi yang
menimbulkan rasa geli – geli enak. Aaah… kenapa aku jadi begini?
Tiba – tiba hujan turun dengan derasnya. Deras sekali. Padahal perjalanan masih jauh.
Sementara jalanan tidak kelihatan sama sekali.
“ACnya bermasalah Teh,” kata Andi sambil mengurangi kecepatan dan menyalakan
lampu hazard, “Kaca depan belakang berembun gini… gak kelihatan apa – apa.”
“Istirahatkan aja di bahu jalan Di. Bahaya kalau maksain,” ucapku.
Andi menurut saja. Membelokkan mobil ke pinggir, sampai berhenti di bahu jalan,
dengan mesin mobil dan lampu hazard tetap dinyalakan.
“ACnya kenapa ya?” tanyaku.
“Mungkin freon-nya habis Teh. Kalau diaktifkan bahaya, suka mengeluarkan CO2 kata
orang sih.”
“Ya udah, matiin aja mesinnya sekalian. Tapi jendela kaca belakang buka aja sedikit, biar
jangan pengap. Hiiiiiiii… dingin sekali Di… padahal gak nyalain AC ya,” ucapku sambil
memeluk leher Andi dan merapatkan pipi kananku ke pipi kirinya.
“”Mau pakai jaketku biar gak kedinginan?” tanya Andi.
“Gak usah,” sahutku, “Kalau megangin ini sih bisa anget. “Tanpa ragu – ragu lagi
kuturunkan ritsleting celana jeans Andi, lalu kumasukkan tanganku ke dalam celana
jeans itu… bahkan kuselundupkan tanganku ke balik celana dalamnya… sampai
menyentuh dan memegang sesuatu yang hangat tapi masih lemas.
Kegelapan udara yang sudah mulai malam membuatku tidak bisa melihat ekspresi Andi
saat itu. Sementara “sesuatu” yang kupegang ini mulai membesar dan menegang.
Sengaja kuelus – eluskan jempolku ke “puncak jamurnya” sambil bertanya perlahan,
“Kontolmu ini udah pernah dimasukkan ke memek cewek?”
“Bebeb… be… belum pernah Teh,” sahut Andi tergagap.
“Masa sih?! Umurmu sekarang sudah duapuluh kan?”
“Sumpah Teh, belum pernah. Takut bikin hamil lalu disuruh ngawin kan repot.”
Aku semakin lupa diri. Lalu berbisik ke telinga Andi, “Padahal kalau dientotkan ke dalam
memek cewek itu enak sekali lho…”
“Iiii… iiiyaaa kata orang sih be… begituuuu,” sahut Andi semakin gagap.
“Sudah pernah megang memek?”
“Be… belum juga… kan Teteh juga tau… aaa… aku gak… punya temen cewek…”
“Tapi kamu bukan gay kan?”
“Amit – amit…! Bukan Teh.”
“Lalu kenapa di usia duapuluh tahun belum nyobain memek? zaman sekarang kan anak
tigabelas -empatbelas tahun juga banyak yang udah tau enaknya memek.”
“Teteh kan tau keadaanku, yang lahir dari keluarga pas – pasan. Makanya aku gak berani
macem – macem Teh.”
“Kasiaaan… “cetusku sambil diam – diam menurunkan celana dalam sampai lututku.
Kemudian kutarik tangan kiri Andi dalam kegelapan ini sambil bertanya, “Kamu pernah
megang memek belum?”
“Be… belum pernah Teh,” sahutnya terdengar lugu.
“Nih peganglah memekku… biar jangan ketinggalan zaman banget,” ucapku sambil
meletakkan tangan Andi di permukaan kemaluanku.
Andi gelagapan, “Teteteeteeeeh… aaa… aaaku ja… jadi me… merasa gak ka.. karuan
gini Teeeh…”
Tangan Andi mengusap – usap kemaluanku yang celana dalamnya berada di lututku. “Ke
Sukabuminya besok pagi aja ya,” kataku dalam godaan birahi yang semakin menjadi –
jadi.
“Te… terus sekarang pulang lagi aja?”
“Jangan… kita nginep di hotel aja,” sahutku, “Ini tinggal lurus aja… dua kilometer lagi
juga ada hotel. Kita nginep di hotel itu aja. Besok pagi kita lanjutkan ke Sukabumi.”
“Iii… iya Teh. Sekarang sudah reda hujannya. Lanjutkan aja ya,” ucap Andi sambil
menjauhkan tangannya dari kemaluanku.
“Iya. Hotelnya ada di sebelah kiri. Pelan – pelan aja, biar jangan kelewat.”
Andi menjalankan kembali mobilku perlahan – lahan.
Beberapa saat kemudian Andi membelokkan mobilku ke pekarangan sebuah hotel kecil,
tapi kelihatannya nyaman.