My Beloved Cousins Part 3

Andi menjadi sosok yang sangat penting dalam hidupku. Karena dia mampu meredakan
keresahanku di setiap saat ketika libidoku meningkat. Karena mungkin aku ini termasuk
wanita muda yang bernafsu besar. Tak cuma sentuhan yang bisa meningkatkan libidoku,
dengan percakapan di handphone saja terkadang mampu membuatku horny.
Namun dengan keberhasilanku untuk “menjinakkan” Andi, aku tak lagi harus “naik ke
otak”. Karena Andi senantiasa siap untuk meredakan kegelisahanku, tentu saja dengan
cara menggauliku.
Bahkan aku dan Andi sudah punya kode rahasia. Kalau Andi bertanya “Bonnya sudah
diterima belum Teh? ”, itu berarti bahwa Andi ingin menyetubuhiku. “Kalau kujawab
“sudah”, berarti aku akan menunggunya di dalam kamarku. Kalau kujawab “belum”,
berarti aku sedang “bad mood”. Berarti Andi harus bersabar sampai keesokan hari atau
dua hari berikutnya.
Dan kalau aku yang sedang “kepengen”, aku pun akan bertanya seperti itu. “Bonnya
sudah diterima belum, Andi?” Dan kalau Andi menjawab “sudah” berarti malam itu dia
akan masuk ke kamarku, maka pintu yang menuju ke pekarangan depan itu jangan
dikunci olehku.
Semuanya berjalan lancar. Setiap aku menginginkannya, Andi akan selalu siap untuk
menggauliku. Dan pada saat Andi yang “membutuhkanku”, aku pun harus selalu
meladeninya. Terkecuali kalau aku sedang bad mood. terutama akibat kendala dalam
bisnisku, Andi harus bersabar. karena kalau aku sedang dalam “good mood”, aku pun
akan mengajaknya bersetubuh di dalam kamarku.
Namun pada suatu hari Andi melaporkan sesuatu yang membuatku terhenyak. “Teh…
kelihatannya Soni dan Maxi sudah pada tau rahasia kita, “lapornya di kantorku.
“Masa?! “seruku tertahan.
“Betul Teh. Soni bahkan menyindirku dengan bahasa yang samar – samar tapi jelas
ditujukan pada kita berdua.”
Lalu Andi menjelaskan sindiran – sindiran apa yang dilontarkan oleh Soni dan Maxi itu.
“Makanya aku jadi bingung Teh. Mana dua hari lagi aku harus ikut study tour ke Jogja
pula…”
“Mau study tour ke Jogja? Berapa hari?”
“Semingguan gitu Teh.”
“Harus bayar uang transport, hotel dan untuk makan selama di Jogja kan?”
“Iya Teh. Makanya jadi tambah bingung.”
“Sudahlah. Jangan dipikirin. Untuk biaya kamu di Jogja nanti, aku yang nanggung.
Tentang masalah Soni dan Maxi juga jangan terlalu dipikirkan. Tenang aja. Yang penting
kita harus semakin rapi melakukannya nanti. Kalau perlu kita cari tempat lain untuk
melakukannya, jangan di rumah ini lagi.”
Aku hanya berusaha menenangkan Andi. Tapi tahukah dia bahwa aku sendiri jadi resah
setelah mendengarkan laporannya itu?
Bahkan setelah Andi dijemput oleh teman – teman kuliahnya, untuk berkumpul di
kampus dan lalu berangkat ramai – ramai ke Jogjakarta, aku seolah punya musuh dua
orang, Soni dan Maxi yang harus kuhadapi sendirian. Karena pembelaku sudah
berangkat menuju Jogja.
Tapi gak begitu juga kale. Soni dan Makxi sama – sama saudara sepupuku. Tiada bedanya
dengan Andi. Lagian mereka kan menumpang di rumahku. Bukan aku yang menumpang
di rumah mereka. Kenapa pula aku harus gentar menghadapi sindiran – sindiran seperti
yang pernah dilontarkannya kepada Andi?
Dan aku yakin, mereka takkan berani melontarkan sindiran – sindiran seperti itu. Kalau
pun mereka berani melontarkannya, aku sudah siap membentak mereka. Bahkan kalau
perlu, aku pun siap untuk mengusir mereka…!
Tapi aku ini laksana panglima di yang menghadapi musuh. Ada dua alternatif yang bisa
kutempuh. Menggempur musuh dengan mengangkat senjata, atau membujuknya agar
menyerah tanpa menumpahkan darah.
Sepertinya aku harus berkomunikasi dengan mereka, agar tahu seperti apa sikap mereka
sebenarnya padaku. Karena aku baru mendengar laporan Andi saja, tanpa
mendengarnya sendiri.
Maka ketika malam tiba, setelah mengenakan gaun tidur aku melangkah ke pintu kamar
Soni dan Maxi. Mereka sekamar berdua. Sementara Andi kebetulan mendapatkan kamar
untuk dirinya sendiri.
Kulihat Soni sudah tidur. Tapi Max sedang belajar. Memang Max selalu berprestasi di
kampusnya. Mungkin berkat tekad dan cita – citanya yang ingin jadi lawyer seperti
seorang lawyer terkenal yang dikaguminya.
Ketika Max menoleh padaku, aku melambaikan tangan tanpa suara. Max melirik ke arah
Soni yang sudah nyenyak tidur. Lalu bangkit dan menghampiriku.
Tak ingin membangunkan Soni yang sudah tidur, aku pun membisiki telinga Max, “Gak
ada Andi rasanya jadi sepi dan menakutkan. Aku takut tidur sendirian. Kamu mau
nemenin?”
Max mengangguk. Lalu menutupkan pintu kamarnya dan mengikuti langkahku menuju
kamar yang berada di lantai dua. Dari kamarku ada dua tangga, yang satu untuk menuju
pekarangan rumah, yang satunya lagi untuk menuju ruang keluarga. Berbeda dengan
Andi yang ayahnya (Oom Yuda) adik Mama, Max itu ibunya (Tante Ika) yang adik Mama.
Mungkin di antara adik – adik sepupuku yang tinggal di rumahku, Max yang tampak
berbeda dengan Andi dan Soni. Tampang dan bentuk fisik Max kebule – bulean, karena
ayahnya seorang Indo Belanda (tapi ayahnya sudah meninggal dalam kecelakaan di
tempat kerjanya waktu sedang meledakkan gunung batu andesit milik majikannya).
Berbeda pula dengan Andi yang pendiam, Max lumayan lincah dan gampang
berkomunikasi.
Setelah Max dan aku sudah berada di dalam kamarku, kedua pintu keluar pun kututup
dan kukuncikan.
Benarkah aku takut tidur sendirian? Tidak. Aku bukan perempuan penakut. Tapi aku
akan berusaha agar Max menjadi bagian dari kehidupanku. Hal ini sudah kupikirkan
sejak Andi berangkat ke Jogja tadi pagi.
Lagipula Max lebih muda daripada Andi. Max dan Soni sama – sama berumur 18 tahun,
sementara Andi sudah 20 tahun.
“Kamu gak akan kedinginan tidur cuma bercelana pendek gitu?” tanyaku sambil duduk
di pinggiran bedku yang lebar, yang cukup dipakai tidur oleh tiga orang sekali pun.
“Aku biasa tidur pakai celana pendek gini Teh. Biar gak kegerahan,” sahut Max sambil
duduk di pinggiran bed juga, agak jauh dariku.
Rumahku memang terletak di dataran rendah, yang berada di daerah dekat pantai.
Dengan sendirinya hawa di kotaku panas. Tentu saja Max akan merasa gerah, karena dia
lahir dan dibesarkan di daerah pegunungan yang dingin dahulu.
“Udah ngantuk?” tanyaku sambil bergerak ke dekat dinding, lalu merebahkan diri.
“Belum,” sahut Max sambil merebahkan diri pula di sampingku.
“Max… !”
“Iya Teh?”
“Kamu sudah punya pengalaman dengan perempuan?”
“Mmm… emangnya kenapa Teh?”
“Mau tau aja. Tapi yang jujur jawabnya.”
“Pernah sih, tapi gak sering. Masih bisa dihitung dengan jari.”
“Sama siapa?”
“Sama istri orang, di kampungku dahulu. Suaminya sudah tua sekali. Hehehee…”
“Enak dong bisa main sama bini orang.”
“Ya begitulah. Tapi keburu ketahuan sama Mama. Aku dimarahin lalu dititipkan ke sini,
supaya jauh dari perempuan itu.”
“Emangnya punyamu segede apa sih,” ucapku sambil menyelinapkan tanganku ke dalam
celana pendek Max dan berhasil memegang penisnya yang membuatku kaget. “Max…
pantesan bini orang itu seneng sama kamu. Kontolmu gede banget… !”
“Hehehe… iya Teh… “Max agak salah tingkah karena aku sedang meremas – remas
batang kemaluannya yang masih lemas, tapi lalu menegang sedikit demi sedikit.
“Bini orang itu cantik nggak?” tanyaku sambil mengelus – elus moncong penisnya.
“Kalaju dibandingkan sama Teh Nadya sih kalah jauh. Dia lebih tua daripada Teteh.
Wajahnya juga cantikan Teteh.”
“Sekarang kamu ngomong jujur Max… kamu mau main sama aku?”
“Mem… memangnya boleh?”
“Boleh,” sahutku, “Aku kan bukan istri siapa – siapa. Sekarang ini aku perempuan bebas.”
“Hehehee… iya Teh…”
“Kontolmu ini gede banget Max. Nurun sama siapa sih?”
“Mungkin nurun dari Papa almarhum. Punya dia juga panjang gede Teh.”
“Emang dahulu kamu suka lihat kontol papamu?”
“Kebetulan aja waktu almarhum sedang pipis di hutan, keliatan punyanya.”
“Ohya… waktu kamu main sama bini orang itu, dia suka minta diapain aja?”
“Suka minta dijilatin dulu memeknya. Karena punyaku kegedean katanya.”
“Berarti kamu udah pandai jilatin memek dong.”
“Ya… karena diajarin sama istri orang itu… aku jadi tau yang mana aja yang harus
kujilatin… hehehee…”
Apakah aku ini pada dasarnya punya nafsu yang besar atau bagaimana. Entahlah. Yang
pasti, obrolan dengan Max membuatku horny.
Maka tanyaku, “Kamu mau jilatin memekku Max?”
“Mau. Aku seneng sekali kalau udah disuruh jilatin memek. Tapi… Teteh serius nih?”
“Tentu aja serius,” sahutku sambil duduk dan melepaskan gaun tidurku. Sehingga
tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku, karena setiap menjelang tidur aku
tak pernah mengenakan beha.
“Ayo jilatin sekarang,” ucapku sambil menelentang.
“Ma… masih pake celana dalam Teh?”
“Ya lepasin dong sama kamu.”
“Iya, “Max mengangguk. Lalu menarik celana dalamku sampai terlepas dari kedua
kakiku.
“Wow… memek Teh Nadya ini favoritku benar… gak ada jembutnya… pasti enak
jilatinnya,” ucap Max sambil mengusap – usap permukaan kemaluanku.
“Memek bini orang itu gimana?”
“Gondrong banget Teh. Jadi susah jilatinnya. Kadang jembutnya nyelip di gigiku…
hihihihiii…”
“Ayo deh jilatin sekarang,” ucapku sambil merenggangkan kedua belah pahaku selebar
mungkin.
Kedua tangan Max mengangakan memekku. Lalu mulai menjilatinya dengan lahap
sekali. Membuatku terpejam – pejam dalam nikmat.
Rasanya Max sudah sangat trampil dalam menjilati kemaluan perempuan. Dia tak cuma
menjilati bibir luar dan bibir dalam kemaluanku, tapi sesekali dia menjilati kelentitku.
Tentu saja aku mulai menggeliat – geliat dibuatnya.
Cukup lama Max melakukan ini semua. Sehingga liang kemaluanku terasa sudah benar –
benar basah. Dan akhirnya aku berkata, “Cukup Max… masukin aja kontolmu sekarang.
Aku ingin merasakan enaknya kontol panjang gede itu.”
Max melepaskan baju kaus dan celana pendeknya, lalu meletakkan moncong penisnya di
mulut kemaluanku. Lalu… tanpa bantuanku, Max berhasil membenamkan penis
ngacengnya sedikit demi sedikit ke dalam liang kewanitaanku.
Gila memang. Rasanya penis Max lebih “gagah” daripada penis Andi mau pun mantan
suamiku. Mungkin aku harus melanggengkan hubungan rahasiaku dengan adik
sepupuku yang satu ini. Karena belum dientot pun sudah terasa enaknya ketika batang
kemaluan panjang gede itu membenam sedikit demi sedikit ke dalam liang
kenikmatanku.
Apalagi setelah Max mulai mengayun penis gagahnya itu, wow, rasanya sekujur tubuhku
seperti dialiri arus yang menjalar dari ujung kaki sampai di ubun – ubunku. Arus birahi
yang luar biasa nikmatnya.
Max pun terasa sudah pandai melengkapi kenikmatanku, dengan mencelucupi pentil
toketku, dengan menjilati leher dan telingaku, bahkan ia pun tak canggung lagi untuk
menjilati ketiakku yang sangat sensitif ini.
Karuan saja rintihan – rintihan di luar kesadaranku berlontaran dari mulutku, “Max…
ooooh… kontolmu enak sekali Maaaax… ayo entot terus Max… ini luar biasa enaknya…
enak sekali… aaaaaaah… aaaaah… enak Max… entooot teruuus… iyaaaa… iyaaaaa…
iyaaaa… entooot… entooooooootttttttt…
Makin lama entotan Max makin gencar, sehingga aku ingin mengimbanginya dengan
goyangan pinggulku. Aku ingin agar diriku terkesan lebih memuaskan daripada bini
orang yang sering disetubuhi oleh Max itu