Petualangan Sex Dira

Petualangan Sex Dira

PART 1

INILAH YANG KU MAU

Petualangan Sex Dira – Minggu pertama bulan baru. Aku belum juga menerima uang kiriman dari orang tuaku. Uang yang aku miliki sudah mulai menipis. Sepertinya aku terlalu boros kemaren. Biasanya setiap bulan aku selalu punya uang lebih untuk ditabung. Setelah melempar tas ke lantai, aku menghempaskan tubuh duduk di atas sofa. Ku buka jilbab dan kemudian ikat rambutku sehingga membuat rambut panjang bergelombangku tergerai. Hari ini sungguh melelahkan. Jadwal kuliah yang begitu padat dari pagi hingga sore. Aku baru saja pulang kuliah dan ingin segera mandi.

“Iya Ma… udah bulan baru nih… Kok belum dikirim sih? Kirimin dong,” rengekku lewat telepon.

Aku akhirnya mengadu pada orangtuaku sebelum pergi mandi. Meminta mereka untuk segera mengirimkan aku uang untuk bulan ini.

“Biasanya kamu gak pernah mengeluh kalau telat, kenapa sekarang mengeluh?” Tanya mama heran.

“Abisnya… kemaren ini aku beli hape baru ma… hehe,” aku malu-malu menjawab.

“Lho… Itu kan resiko kamu sendiri karena beli hape baru. Lagian hapemu yang kemaren kan masih bagus. Untuk apa juga beli baru?”

“Teman-temanku sudah ganti hape baru semua Ma, aku kan juga pengen beli yang baru…” jawabku beralasan.

Seperti yang dugaanku, aku kemudian kena ceramah oleh Mama. Dia memintaku agar jangan boros-boros, kemudian melebar hingga menasehatiku agar kuliah yang rajin dan jangan main pacar-pacaran. Kata-kata yang diucapkannya nyaris selalu sama setiap kali kami berbicara. Hampir setengah jam Mama berceramah. Aku hanya bisa mendengar dan mengiyakan saja apa yang dia ucapkan. Untungnya setelah itu dia mau untuk segera mengirimkan aku uang. Lega sekali aku mendengarnya. Setelah menutup telepon, aku kemudian menuju ke kamarku untuk mandi.

Di dalam kamar, ku lepas pakaianku satu persatu tanpa tersisa. Dengan bertelanjang bulat aku lalu menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku. Sesampainya di dalam, aku bergaya sejenak di depan cermin besar yang ada di sana. Aku senyum-senyum sendiri. Aku begitu menyukai tubuhku. Bangga sekali punya tubuh sempurna seperti ini. Bukannya mau menyombongkan diri, tetapi teman-temanku memang banyak yang iri kepadaku. Tubuhku yang tinggi langsing berpadu indah dengan buah dada besar membulat dan pinggul yang lebar. Mereka juga mengagumi kulit putih beningku yang terawat serta rambutku yang ikal berombak.

Tak sedikit juga yang menyebut aku cantik, manis, imut dan sebagainya. Sebelumnya aku tidak pernah begitu memperhatikan tubuhku. Tapi setelah banyak teman-temanku yang memujiku, akupun jadi sering berdiri di depan cermin. Aku mulai menyadari kalau aku memiliki tubuh indah yang harus aku rawat dengan baik. Akupun jadi rajin merawat diri setelahnya. Rajin olahraga, makan makanan yang sehat serta rajin memakai dan mengkonsumsi produk perawatan tubuh dan kulit. Aku tidak ingin menyia-nyiakan apa yang ada pada diriku. Wajah dan tubuhku merupakan harta berhargaku yang harus aku jaga dengan baik.

Pakaianku sehari-hari bila ke luar rumah tentunya pakaian yang terbilang sopan, seperti yang aku pakai ke kampus barusan. Baju kemeja lengan panjang dengan celana jean panjang lengkap dengan jilbab. Cukup tertutup namun bisa sedikit memamerkan lekuk tubuhku. Tapi dengan pakaian seperti ini saja sudah cukup untuk membuat para cowok banyak yang ngejar-ngejar aku. Dengan harapan aku bisa dijadikan pacar ataupun hanya sekedar ingin berteman denganku. Tak hanya cowok baik-baik saja yang berani mendekat, aku juga sering digoda cowok-cowok mesum yang tanpa sopan-santun mengajak aku main di atas ranjang.

Kebanyakan dari mereka hanya sekedar iseng, tapi ada juga yang serius dengan mau membayar mahal agar aku bersedia diajak ke hotel. Aku tentunya tidak mempedulikan ucapan mereka. Aku juga belakangan ini tersadar kalau ada seorang stalker yang sedang membuntutiku. Aku merasa gerak-gerikku setiap beraktifitas di luar rumah selalu diawasi olehnya. Sepertinya dia juga diam-diam memotretku. Aku penasaran siapa pria misterius ini sebenarnya.

Setiap akan mandi aku pasti akan memperhatikan bayangan tubuhku di depan cermin. Kadang sampai berfoto-foto menggunakan smartphone milikku baik hanya menggunakan pakaian yang minim maupun telanjang bulat.Teman-temanku mungkin tidak akan menyangka, dibalik keseharianku yang selalu memakai jilbab, di smartphoneku tersimpan foto-foto diriku yang kebanyakan dengan kondisi nyaris tanpa busana. Selesai mandi ada telepon masuk. Ternyata dari teman SMA-ku.

“Kamu jadi ikut kan besok?” tanya temanku itu.

Sudah beberapa hari ini dia selalu menanyakan hal yang sama padaku. Ini sudah yang ketiga kalinya hari ini dia memintaku hadir. Dia mengundangku ke acara pesta pernikahan kakaknya. Sepertinya dia ingin memastikan kalau aku benar-benar akan hadir besok.

“Iya.. aku pasti datang kok…” jawabku.

“Janji yah… Aku tunggu”

Aku memikirkan busana apa yang akan aku kenakan besok. Temanku itu anak pengusaha. Sudah pasti pesta itu akan mewah. Aku sebenarnya berencana memakai pakaian yang tertutup tapi tetap modis untuk ku kenakan besok. Namun tiba-tiba aku memikirkan hal lain, aku ingin mengenakan pakaian yang sedikit agak terbuka, memperlihatkan belahan dadaku, mungkin ditambah dengan bawahannya di atas lutut. Ah… kalau begitu auratku akan banyak terlihat. Tapi aku ingin sekali mencoba berpakaian seperti itu. Dari kecil aku memang sudah dididik dan dibiasakan mengenakan jilbab oleh orangtuaku kalau keluar rumah, aku diajarkan bahwa aurat-auratku bukanlah untuk dipamerkan sembarangan.

Namun sekarang aku penasaran ingin mencobanya, penasaran bagaimana rasanya menunjukkan sedikit auratku pada orang lain. Ada sesuatu yang mendorongku untuk mencobanya. Akhirnya kuputuskan untuk membeli pakaian untuk ku kenakan di acara besok. Besok malamnya aku datang ke acara ulang tahun tepat waktu. Pilihan busanaku jatuh pada Jenis babydoll dress berwarna orange berbahan sutera. Gaunnya begitu terbuka. Belahan dadaku terlihat begitupun dengan pahaku, serta memperlihatkan lekuk tubuhku dengan sempurna. Aku merasa sangat seksi mengenakan busana ini.

Di lokasi pesta, aku tak menyangka kalau akan begitu banyak orang-orang yang memujiku. Ada juga yang terkejut karena tidak menyangka kalau aku akan datang dengan mengenakan busana terbuka seperti ini. Untungnya tidak terlalu banyak orang-orang yang mengenalku di sini. Tidak ada teman-teman kuliahku, teman-teman SMAku juga tidak terlalu banyak. Meskipun terkejut dengan busanaku, tapi mereka tetap memuji diriku, mengatakan betapa cantiknya aku dan gaun yang aku kenakan. Aku merasa bangga banyak mata yang memandang ke arahku, baik cewek maupun cowok. Lagi-lagi tak sedikit cowok-cowok yang mengajak kenalan denganku. Aku dapat melihat kalau pandangan mereka kebanyakan selalu tertuju pada belahan dadaku.

Aku semakin merasa excited ketika disuruh tampil di depan panggung. Aku memang pandai menyanyi, sehingga aku diminta untuk menyumbangkan suaraku. Sekarang seluruh mata yang ada di sini tertuju padaku. Aku merasakan sensasi yang aneh karena aku yang biasanya berpakaian tertutup kini tampil dihadapan orang banyak dengan busana terbuka. Perasaanku campur aduk antara bangga dan risih, namun aku merasa sangat senang bisa berbagi apa yang aku miliki. Setelah aku turun dari panggung, semakin banyak tamu yang ingin bersalaman denganku. Mereka terus memuji-muji diriku.

“Kamu sempurna banget. Sudah cantik, seksi, suaramu juga bagus,” ucap salah seorang cowok yang disusul oleh cowok-cowok lain. Aku membalas tersenyum sambil mengucapkan terima kasih.

“Benar, iri sekali rasanya. Udah cantik, bodynya bagus, suaranya juga bagus. Coba aja aku seperti kamu,” para cewekpun turut memujiku. Senang sekali rasanya mendengar puji-pujian itu. Ahh… Tubuh indah yang aku miliki mungkin memang sepatutnya diketahui orang banyak.

Lewat tengah malam barulah pesta usai. Saat pulang dari pesta aku mengalami kesialan. Di tengah jalan ban mobilku bocor. Sepertinya ini ganjaran buatku karena telah memamerkan auratku dengan bangga di hadapan orang-orang. Dan sekarang aku tidak mengerti cara mengganti ban mobil yang bocor ini. Handphoneku juga kehabisan baterai sehingga tidak bisa menghubungi siapapun. Kondisi semakin diperparah dengan hujan yang mulai turun. Suasana disekelilingku begitu gelap. Aku berdiri di samping mobilku, berharap ada orang lewat yang mau membantuku.

Aku bahkan berharap stalker itu muncul sehingga bisa menolongku, tapi dia tidak kelihatan. Kemana dia saat aku butuh!?. Cukup lama aku menunggu tapi tidak ada yang lewat. Aku tidak tahu apa yang akan ku lakukan. Mungkin aku akan berjalan kaki saja dari sini menuju rumahku. Sebenarnya jaraknya sudah tidak terlalu jauh, tapi tentunya sangat beresiko berjalan sendirian di tengah malam, apalagi dengan busana seperti ini. Mungkin aku akan tidur di dalam mobil saja malam ini. Saat aku akan masuk kembali ke mobil, tiba-tiba ada yang datang.

“Kenapa kak?” tanya cowok itu.

Ku perhatikan dirinya. Ah, ternyata masih anak-anak, dia bukan stalker itu. Jelas dia tidak akan bisa banyak membantuku pikirku.

“Ban mobil kakak bocor,” jawabku datar.

“Mau aku bantuin?” tawarnya.

“Emang kamu bisa?” tanyaku ragu.

“Kalau cuma begini sih aku udah biasa kak,” balasnya.

Ku persilahkan saja dia mencoba. Sambil bekerja dia sesekali melirik ke arahku. Sepertinya pakaian yang ku kenakan memang begitu mengundang mata untuk melirik ke arahku termasuk remaja tanggung sepertinya. Ternyata aku salah telah meremehkan anak ini. Rupanya dia pandai mengganti ban mobil. Dalam waktu singkat, mobilku sudah bisa dipakai kembali.

“Makasih banyak yah dek… Ternyata kamu pinter,” ucapku.

Sebagai bentuk rasa terima kasihku, aku beri dia duit selembar uang seratus ribu, namun dia menolak.

“Wah… gak usah kak, kebanyakan. Aku gak punya kembaliannya”

“Ini untuk kamu semua kok… ambil aja”

“Aku ikhlas kok bantuin kakak,” balasnya.

“Terima aja… ini kan karena kamu udah bantuin kakak,” bujukku lagi agar dia mau mengambilnya.

“Gak usah kak, terima kasih.” Namun dia terus menolak.

Aku yang jadinya tidak enak hati. Aku tak terbiasa tidak membalas bantuan yang aku terima dari orang lain.

“Ya sudah kalau begitu.. ngomong-ngomong rumah kamu dimana? Kenapa jam segini anak kecil sepertimu masih keluyuran?” tanyaku kemudian padanya.

“Enak aja anak kecil. Umurku udah 14 tahun kok.. Udah SMP. Rumah aku dekat sini kak, baru selesai nonton bola bareng di rumah teman,” jawabnya.

“Kalau kakak dari mana? Rumah kakak dimana?” lanjutnya balik bertanya.

Akupun menjawab pertanyaannya serta mengatakan dimana alamat rumahku.

“Ohh… perumahan elit di depan sana yah kak? Wah… kita tetanggaan dong”

“Iya… Kenapa? Kamu mau mampir? Hihihi,” godaku.

“Eh… nggak kok,” jawabnya.

“Ya sudah… Kakak mau pulang dulu. Makasih banyak ya atas bantuannya. Kamu juga langsung pulang sana”

“Iya kak, hati-hati di jalan kak”

“Kamu juga”

Aku masuk ke mobil dan menyalakannya. Untung saja aku bertemu dengan orang baik. Kalau yang datang orang jahat aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Sebelum meninggalkan bocah itu aku buka kaca jendela untuk melambaikan tangan padanya.

“Eh… nama kakak siapa?” teriak bocah itu saat aku mulai menjauh. Membuatku harus menjawabnya dengan juga berteriak.

“Dira”.

Satu minggu kemudian, aku berencana pergi nonton film bersama teman-temanku di mall. Sebuah film baru buatan negeri sendiri yang sedang heboh-hebohnya saat ini. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai nonton di bioskop. Hanya sesekali saja jika film itu sangat membuat aku penasaran. Aku memakai pakaian kesukaanku. Kemeja panjang kotak-kotak dengan celana jeans, tentunya lengkap dengan jilbab berwarna biru muda. Aku tidak berminat untuk kembali mengenakan pakaian yang terbuka saat ini. Tidak dengan teman-temanku yang selama ini tahunya aku pakaiannya selalu berjilbab.

Aku pergi sendirian dari rumahku dengan mobil. Parkiran mall yang penuh membuat aku terpaksa memarkirkan mobilku di depan deretan ruko di sebelah mall tersebut. Setelah nonton, aku dan teman-temanku tidak langsung pulang. Kami berkeliling cuci mata, lalu setelah itu makan siang di salah satu café di sana. Aku sangat menikmati menghabiskan waktu luang dengan berkumpul bersama teman-temanku seperti ini. Karena sehari-harinya aku biasa sibuk dengan urusan kampus. Tugas-tugas yang banyak serta praktikum yang tiada hentinya.

“Ah, film tadi gak seseru iklannya,” ucap salah satu temanku sambil menyeruput milkshake vanila milikku.

“Menurutku bagus kok, aku suka banget jalan ceritanya. Walau endingnya diluar dugaan sih,” balasku.

“Benar… aku juga setuju sama Dira, filmnya bagus kok,” temanku yang satu lagi setuju denganku.

Sambil menyantap makan siang kami membahas tentang film yang barusan kami tonton. Lalu membahas tentang film-film apa yang akan kami tonton selanjutnya. Ngobrolin orang dan juga ngobrolin dosen-dosen killer. Sampai ngobrolin masalah cinta-cintaan. Semua itu dilengkapi dengan foto-foto bersama. Puas, kamipun berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing. Aku menuju ke tempat mobilku di parkir. Tukang parkirnya dengan seenaknya meminta uang parkir 50 ribu. Tentunya aku menolak membayarnya. Bukan karena aku tidak punya uang, tapi karena tidak mau. Itu terlalu mahal. Parkir hanya 3 jam tapi mintanya segitu. Aku berdebat panjang dengan tukang parkir itu.

“Kak Dira!” panggil seseorang. Aku mengenal suara itu.

“Udah bang, biar aja, itu kakak aku,” ucapnya lagi.

Ternyata itu bocah yang pernah menolong mengganti ban mobilku. Tampak dia masih mengenakan seragam SMPnya. Si abang tukang parkir dengan bersungut-sungut akhirnya mau juga pergi. Sepertinya tukang parkir itu kenalan anak itu. Bocah itu kembali menolongku dari kesusahan. Pertemuan pertama kami mungkin hanya kebetulan, tapi sekarang aku yakin kalau pertemuan kami memang ditakdirkan.

“Lho, kamu kok ada di sini?” tanyaku padanya.

“Aku emang biasa nongkrong di sini kak. Kak Dira abis dipalak yah sama tukang parkir itu? Tukang parkir di sini emang banyak yang gak punya otak kak”

“Hahaha, iya tuh. Minta uang parkirnya mahal amat. Eh, makasih yah udah tolongin kakak lagi”

“Iya kak, sama-sama. Hmmm.. Kakak pakai jilbab ya? Malam itu kok nggak?”

“Iya… kakak biasanya emang pakai jilbab kok.” Sebagian temanku biasanya tidak akan mengenaliku jika aku tidak pakai jilbab, namun ternyata dia ingat dengan wajahku.

“Kamu mau pulang? Mau bareng kakak gak? Kan kita tetanggaan,” tawarku kemudian padanya.

“Duh, gak usah repot-repot kak”

“Udaaaah… bareng kakak aja. Yuk naik,” aku sedikit memaksa.

Aku juga ingin membalas bantuannya. Diapun akhirnya mau juga. Aku langsung mencium bau matahari begitu dia masuk ke mobilku. Dia terlihat lusuh. Seragam putihnya tidak berwarna putih lagi. Tapi yang aku suka darinya dia baik dan sopan padaku.

“Kakak belum tahu siapa namamu. Namamu siapa sih?” tanyaku sambil menyetir.

“Eko kak…”

“Ohhh… Eko”

“Kenapa kak? Sama dengan nama pacar kakak ya?” godanya yang membuat aku tertawa.

“Ih, apaan… Kakak gak punya pacar kok” jawabku.

“Kak Dira kan cantik, baik lagi. Masa sih gak ada cowok yang mau jadi pacar kakak…”

“Kamu ini pandai memuji juga ya ternyata. Emang kamu mau jadi pacar kakak?” balasku balik menggodanya.

“Siapa juga yang gak mau…”

“Hahaha… dasar kamu ini, masih bocah udah pacar-pacaran”

“Yah, ditolak…” ucapnya garuk-garuk kepala. Aku tertawa terbahak-bahak. Aku langsung merasa akrab dengan bocah ini.

“Eh, kamu mau dengar kakak nyanyi gak?” Aku menawarkannya untuk mendengarkan suaraku.

“Emang kak Dira bisa nyanyi?”

“Ih, kamu gak percaya ya kakak bisa nyanyi? Dengarin yah… siap-siap terpukau yah…” Aku kemudian mematikan radio dan bernyanyi. Aku selalu senang memperdengarkan nyanyianku pada orang lain.

“Gimana? Bagus kan suara kakak?”

“Iya kak, bagus, hehehe”

“Ih, gak ikhlas banget bilangnya, hahaha”

Selama perjalanan kami mengobrol dan bercanda. Dia bercerita tentang kesehariannya, begitupun denganku. Ayah dan ibunya membuka warung makan kecil-kecilan, dekat dengan lokasi aku memarkirkan mobilku tadi. Kadang ayah dan ibunya tidak pulang ke rumah karena menginap di sana. Setelah pulang sekolah, dia biasanya mampir dulu ke sana untuk membantu mereka. Setelah dekat dengan rumah, aku menawarkannya untuk singgah ke rumahku. Kali ini aku serius mengundangnya. Sekedar untuk minum dan bersantai sejenak. Namun Eko dengan sopannya lagi-lagi menolak ajakanku. Tapi aku kembali memaksanya. Dia tidak punya pilihan selain menerima ajakanku.

“Rumah kakak bagus banget… Beneran kakak tinggal sendirian di sini?” tanyanya takjub melihat keadaan sekeliling.

“Benar…”

“Ohhh… Emang gak capek ngurus rumah gede begini sendiri?”

“Capek juga sih, tapi udah biasa. Cuma kakak jarang banget ngurusin halaman. Kamu mau kerjaan gak? Kamu bisa kerja di sini kalau kamu mau. Ngurusin halaman itu,” tawarku padanya.

Dia tampak semangat sekali mendengarnya. Dia mengiyakan tawaranku. Entah karena memang membutuhkan duit atau karena bisa dekat denganku, aku juga tidak tahu.

“Untuk gajimu kita bahas nanti aja yah… masalah gaji gampang deh pokoknya. Kita makan siang dulu ya…” ajakku.

“Duh, gak usah repot-repot kak”

“Udah gak papa… yuk makan. Ntar kakak marah lho kalau kamu gak mau”

Sejak saat itu Eko mulai berkerja di rumahku. Dia datang setiap sore untuk membersihkan halaman dan menyiram tanaman. Aku beri dia gaji 500 ribu satu bulan. Sesekali aku juga memberinya uang jajan. Aku juga membelikannya hape agar aku mudah menghubunginya. Sebenarnya aku salah karena memperkerjakan anak di bawah umur, tapi aku cuma berniat menolongnya. Aku semakin akrab dengannya. Kadang kami ngobrol sambil dia sibuk membersihkan halaman. Dia masih bersikap sopan seperti biasa. Dia tidak berani masuk ke dalam rumah jika tidak mendapat izin dariku.

Matanya yang sesekali melirik ke arah paha dan dadaku ku anggap sebagai hal yang wajar untuk anak seumurannya. Itu sebuah dorongan yang pastinya sulit untuk dia tolak. Mungkin dia adalah cowok yang paling beruntung dibandingkan yang lain. Hanya dia yang pernah melihat aku memakai pakaian seminim ini. Jika di rumah, aku biasanya memang hanya mengenakan tanktop, celanaku juga amat pendek bahkan ada yang lebih menyerupai celana dalam. Sangat berbeda dengan keseharianku di luar rumah dengan busana yang tertutup. Eko juga pernah melihatku hanya mengenakan handuk, tentunya membuat buah dada serta pahaku begitu terekpos.

Aku biasanya tidak sembarangan menunjukkan aurat-auratku pada orang lain. Tapi entah mengapa aku gampang sekali pamer aurat di depan bocah kampung ini. Sudah satu bulan dia berkerja di rumahku. Sejak dia berkerja denganku penampilannya sudah lebih baik. Tidak lagi terkesan dekil. Dia sudah mempunyai seragam sekolah, tas dan sepatu yang baru. Namun untuk wajahnya memang tidak bisa diperbaharui, memang sudah begitu adanya dari lahir, hihi. Suatu hari di waktu sore aku meminta Eko untuk menolongku membereskan gudang. Gudang itu terpisah dari bangunan utama rumahku. Sudah lama aku ingin membersihkannya, namun aku terlalu capek untuk mengerjakannya sendiri.

Mumpung aku punya waktu luang dan mempunyai bantuan tenaga akupun mengerjakannya sekarang. Ada beberapa barang bekas yang mau aku keluarkan dari gudang untuk ku buang, sebagian akan ku jual. Tampak Eko masih saja grogi bila berada di dekatku. Padahal dia sudah biasa melihat aku dengan pakaian minim begini. Aku senyum-senyum saja melihat gelagatnya. Dasar Eko, dia berani menggodaku, namun bila dekat-dekat denganku dia malah grogi sendiri. Aku kini telah berkeringat. Membuat debu-debu itu menempel dengan banyaknya di kulitku. Ku lihat Eko semakin salah tingkah.

“Udah cukup Ko beres-beresnya… kalau diterusin kamu nanti bakal gak tahan hihihi,” ucapku kemudian keluar dari gudang.

Dia mengikutiku dari belakang. Tubuhku langsung terpapar sinar matahari yang membuat kulitku terlihat mengkilap. Pastinya pemandangan ini begitu erotis untuk dilihat para lelaki. Aku sendiri tidak pernah merasa seseksi ini. Baru kali ini aku yang memakai pakaian minim, sedang keringatan penuh debu dilihat oleh cowok. Beruntungnya Eko. Kami minum jus dingin setelah itu untuk menyegarkan badan. Tanpa sengaja aku menumpahkan sedikit jus itu ke pakaianku. Membuat bajuku basah di sekitaran buah dadaku. Tentunya itu terlihat jelas oleh Eko. Dia masih terlalu sopan untuk menunjukkan kalau dia sedang mupeng saat ini. Dia berkali-kali mencoba bertahan dari pemandangan indah yang ada di depannya. Pandangannya dari tadi selalu tertuju ke tubuhku, khususnya buah dada dan pangkal pahaku.

“Kakak mau mandi dulu.. kamu boleh pulang kalau mau,” ucapku membuyarkan lamunannya.

“Eh, i-iya kak…“

Dia tidak menjawab apakah dia mau langsung pulang atau tidak. Aku biarkan saja dia memutuskan. Aku lalu masuk ke dalam rumah. Langsung menuju ke kamarku yang ada di lantai dua. Dari jendela kamarku, aku bisa melihat Eko masih ada di halaman belakang dekat gudang tersebut. Aku melihat mulutnya komat-kamit. Tidak terlalu jelas apa yang dia ucapkan, tapi aku bisa mendengar kalau dia menyebut namaku. Selanjutnya aku melihat Eko memasukkan tangannya ke dalam celananya dan menggerak-gerakkannya tangannya di sana. Dia onani. Hari-hari setelah itu aku bersikap biasa saja. Aku bisa memaklumi apa yang dilakukan Eko waktu itu. Lelaki manapun mungkin akan melakukan hal yang sama, bahkan bisa saja nekat memperkosaku. Eko sendiri masih sering memperhatikanku yang selalu berpakaian minim di hadapannya.

Aku membiarkan. Dalam pikiran anak itu pasti sekarang terdapat hal-hal mesum tentang aku. Dia tidak terlihat malu-malu lagi melirik ke arahku. Akupun berlagak cuek, seakan mempersilahkannya memandangiku sepuas-puasnya dan selama yang dia mau. Setiap ada dia di rumahku, aku selalu sengaja memakai pakaian minim untuk memuaskan mata dan birahinya. Aku yakin dia saat ini sudah berkali-kali onani sambil membayangkan diriku. Aku mulai berpikir, mungkin tidak ada salahnya sedikit menunjukkan keindahan yang aku miliki padanya. Dia anak yang baik dan sopan meski matanya kadang sedikit nakal. Aku juga penasaran bagaimana rasanya lebih memamerkan auratku padanya.

“Eko… ke sini sebentar,” panggilku padanya yang sedang sibuk menyiram tanaman. Dia terpogoh-pogoh datang ke arahku.

“Ya kak, ada apa?”

“Kamu nginep di sini aja ya malam ini. Temanin kakak. Besok kamu libur kan?” suruhku kemudian padanya. Dia tampak terkejut dengan ucapanku.

“Eh, Ngi-nginap di rumah kakak? Emang gak apa-apa kak?”

“Gak apa… kan kakak sendiri yang ngajak kamu nginep. Mau ya? Harus mau pokoknya”

“Ta-tapi aku gak bawa baju ganti…”

“Gak usah dipikirin. Itu sih gampang nanti,” desakku lagi.

Dia garuk-garuk kepala seperti sedang berpikir. Namun akhirnya dia mau juga. Dia sepertinya memang mau, cuma kaget saja dengan ajakanku. Malam itupun Eko tidak pulang. Dia menginap di rumahku. Karena dia tidak membawa baju ganti, setelah mandi diapun memakai baju kaos dan celana pendekku. Kami nonton tv bersama. Makan malam bersama. Aku mempersilahkannya berbuat yang dia mau layaknya sedang berada di rumahnya sendiri. Diapun sekarang tidak sungkan-sungkan lagi. Kami mengobrol dan bercanda sepanjang malam. Dia tampak sangat menikmati saat-saat berdua denganku di sini.

Matanya masih selalu jelalatan melirik ke arahku, dan akupun selalu mempersilahkannya memandangiku puas-puas. Ketika hari semakin malam akupun berganti pakaian. Aku kenakan baju tidur kimono satin merah muda kesukaanku. Belahan dadanya cukup rendah, pahaku juga terekpos. Melihat aku berpakaian seperti ini aku yakin dia semakin tidak tahan. Tatapannya semakin nanar melihat penampilanku. Tatapannya seakan menelanjangiku. Aku hanya mengenakan celana dalam saja di baliknya, nekat tidak memakai bra.

“Gimana menurut Eko? Bagus gak baju kakak?” tanyaku sambil bergaya di depannya.

“Ba-bagus Kak”

“Suka gak kakak pakai baju ini?”

“Suka kak… Kak Dira cantik banget…”

“Cuma cantik aja?”

“Kak Dira cantik banget, terus seksi, terus baik hati, pinter lagi, suara kakak bagus, kakak juga kaya. Sempurna deh pokoknya,” lanjutnya lagi.

“Naaah… itu baru jawaban yang komplit, hihihi makasih…”

Aku kemudian duduk di sebelahnya. Kembali menonton tv bersamanya. Dia terlihat grogi.

“Beneran nih kakak cantik?” godaku lagi.

“Benar kok kak… Kak Dira cantik banget”

“Jujur kan? Gak bohong kan?”

“Benar”

“Ya sudah… karena kamu sudah jawab jujur, sebagai hadiahnya kamu nanti tidurnya boleh bareng kakak. Kalau kamu udah ngantuk, susul kakak ke kamar ya…” ucapku langsung bangkit berdiri dan langsung menuju ke kamarku.

Meninggalkan Eko yang tampak tak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Akupun juga tak percaya dengan apa yang baru saja ku ucapkan. Aku baru saja mengajak laki-laki untuk tidur bersama denganku! Aku duduk di tepi ranjang. Menunggu bocah itu untuk datang ke kamarku. Tak lama kemudian ada yang mengetuk pintu kamar. Siapa lagi kalau bukan Eko. Aku persilahkan dia masuk. Tentunya ini adalah pertama kalinya dia masuk ke kamarku.

Inipun juga pertama kalinya aku membawa orang lain masuk ke kamarku. Yang mana orang lain itu adalah bocah SMP dari perkampungan sebelah yang kurus, hitam dekil, dan berwajah jauh dari kata tampan. Sebuah pemandangan yang sangat kontras. Bocah sepertinya berada satu kamar dengan aku yang seorang gadis kuliahan, anak orang kaya, berkulit putih bersih, yang usianya terpaut beberapa tahun dengan bocah tersebut.

“Aku tidurnya dimana kak?” tanyanya masih ragu dan bingung.

“Kamu udah ngantuk?” balasku.

“U-udah”

“Hmm… Ya sudah kalau kamu sudah ngantuk. Siniii” Dengan isyarat tangan, ku suruh dia mendekat.

“Tidur di sana? Sama kakak? Beneran boleh kak?”

“Iya…” jawabku sambil tersenyum manis.

Eko kemudian datang ke arahku. Dia terlihat grogi namun antusias. Aku persilahkan dia naik ke atas tempat tidurku. Dengan ragu-ragu dia menuruti. Bocah itu kini berada tepat di sebelahku, berada di atas ranjang yang sama denganku. Dadaku berdebar kencang. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya saat ini. Akupun sebenarnya masih tidak tahu apa yang akan ku lakukan berikutnya. Apakah hanya akan mengajaknya tidur seranjang, atau melakukan hal yang lebih menegangkan lagi. Sempat timbul keraguan apakah tidak apa-apa melakukan hal seperti ini

Aku tidak lagi hanya sekedar pamer aurat, tapi sudah mengajak tidur laki-laki satu ranjang. Tidak pantas tentunya hal ini dilakukan oleh gadis berpendidikan dan dibesarkan di keluarga taat agama sepertiku. Namun dorongan ini begitu besar. Aku tidak tahu dari mana perasaan ini datang. Aku sangat menyukai sensasi ini. Ku biarkan saja rasa ini lepas dan tidak menahan-nahannya. Aku lihat bocah itu. Eko masih diam saja dari tadi sambil melirik-lirik ke arahku. Bocah ini memang sedang mupeng.

“Hayooo… katanya udah ngantuk… kok ngelihatin kakak terus?”

“Eh, a-anu… Kak Dira seksi banget sih… aku jadi grogi, gak bisa tidur, hehe”

“Terus? Kakak harus ganti baju yang lebih sopan nih?” godaku.

“Jangan kak!” larangnya cepat. “Aku suka kok lihat kakak pakai baju itu…”

“Lho? Terus gimana dong?” pancingku.

“Gak apa kok… ya udah kak, aku tidur deh…” balasnya yang sepertinya bingung mau menjawab apa. Ucapannya itu membuatku juga tidak tahu harus berbuat apa lagi.

“Ya udah… kakak tidur juga deh,” kataku kemudian.

Itu percakapan terakhir malam itu. Setelahnya kami saling diam dalam tidur kami. Hanyut dalam pikiran kami masing-masing. Esok paginya saat aku bangun, ku lihat Eko masih tertidur di sampingku. Saat aku akan bangkit, Eko tiba-tiba terbangun. Dia tampak terkejut. Sepertinya dia lupa kalau malam ini dia tidur bersamaku di atas ranjangku.

“Pagi…” ucapku padanya sambil memberikan senyum.

“Eh, p-pagi kak…” balasnya.

Dia kemudian tertegun melihat ke arah dadaku. Akupun menyadari kalau ada yang salah. Ya ampun… benar saja, tali pengikat kimonoku lepas. Membuat hampir seluruh bagian depan tubuhku dapat terlihat olehnya. Bahkan payudara sebelah kananku terlihat seluruhnya. Akupun langsung menutupinya, tapi hanya kututupi sekedarnya tanpa mengikatnya. Tidak kusangka bagian sensitif tubuhku itu terekspos tanpa ku rencanakan. Aku tentunya terkejut karena baru kali ini buah dadaku terlihat utuh-utuh di depan laki-laki. Aku tidak menegur Eko karena tidak ingin dia malu. Aku bersikap sewajarnya seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi bagi remaja tanggung seperti Eko, tentunya pemandangan yang sempat dilihatnya tadi membuat darah mudanya semakin bergejolak.

“Enak tidurnya?” tanyaku. Cukup lama dia baru menjawab karena mungkin pikirannya sedang melayang-layang.

“E-enak kak, nyaman banget. Soalnya tidurnya bareng kakak, hehe”

“Hahaha, bisa aja kamu Ko”

“Kakak gimana tidurnya? Enak juga kan?” Eko balik bertanya pertanyaan yang sama seperti tidak mempunyai pertanyaan lain. Setelah bertanya dia kembali menatap ke arah dadaku.

“Enak… nyaman. Soalnya tidur bareng kamu,” jawabku meniru jawabannya tadi. Dia garuk-garuk kepala mendengar jawabanku. Gemas sekali aku melihat tingkahnya.

“Hmm… Tungguh bentar yah… kakak mau beres-beres dulu. Kamu gak langsung pulang kan?”

“Gak kok kak,” jawabnya. Jelas kalau dia masih ingin berlama-lama di sini bersamaku.

Cara Mendapatkan Win Global Jackpot Poker : agensuper10.club

Aku lalu bangkit dari tempat tidur. Eko terlihat agak kecewa karena aku beranjak dari hadapannya. Dia sepertinya masih belum puas melihat pemandangan tadi. Masih kubiarkan kondisi pakaianku tidak terikat. Akupun memutuskan tidak akan membetulkan ikatan kimonoku. Eko sudah melihatnya tadi, jadi ku pikir tidak ada salahnya jika aku memperbolehkannya melihatnya lagi.

Akupun pergi ke dapur untuk mencuci piring. Dengan kondisi pakaianku yang seperti ini, tentunya ketika berdiri membuat seluruh bagian depan tubuhku makin terekspos. Dari leher, buah dada, perut, sampai daerah selangkanganku yang hanya tertutup celana dalam akan jelas terlihat. Saat aku sedang sibuk mencuci piring, Eko muncul menyusulku ke dapur. Aku hanya menoleh ke arahnya sambil tersenyum.

“Ada yang bisa aku bantu kak?” tanyanya sambil mendekat.

“Gak apa, biar kakak aja sendiri” jawabku sambil tersenyum lagi padanya.

Eko semakin mendekat, kini dia berdiri tepat di belakangku, semakin lama semakin menempel. Dia sepertinya ingin melihat bagian depan tubuhku. Aku masih tetap tak beranjak dan sibuk mencuci piring, membiarkannya penasaran.

“Kamu mau serapan?” Tanyaku kemudian.

“Mau”

“ Serapan apa? Mi rebus mau?”

“Boleh kak..” jawabnya pelan.

Eko kemudian mundur menjauh karena tahu aku akan bergerak. Setelah selesai mencuci piring akupun memutar badan dan mulai membuatkannya serapan. Ekopun mendapatkan pemandangan yang dia nanti-nantikan. Aku mondar-mandir di dapur dengan kondisi berpakaian sembrono seperti itu. Aku biarkan matanya menatap diriku sepuas yang dia mau. Aku berlagak cuek, padahal dadaku sungguh berdebar saat ini. Akhirnya aksi pamer auratku sudah sampai sejauh ini. Aku tidak menyangka kalau rasanya begitu menyenangkan bisa menunjukkan tubuhku ini pada orang lain. Aku biarkan mata bocah itu menatapku puas-puas dengan kondisi seperti ini hingga serapannyapun selesai aku bikin.

“Kamu makan sendiri aja dulu… kakak belum lapar,” ucapku karena masih ingin menyapu rumah.

Namun Eko memintaku untuk menemaninya serapan. Hihihi, dia sepertinya masih belum puas juga memandangiku. Aku turuti perintahnya untuk menemaninya serapan. Kami duduk bersama di meja makan. Sambil serapan tentunya matanya terus menatapku, khususnya ke arah buah dadaku. Dia bahkan lebih banyak menghabiskan waktu menatap buah dadaku dari pada menghabiskan serapannya. Wajah jeleknya melongo seperti orang bodoh karena saking mupengnya.

“Eko… habiskan dulu makananmu, jangan lihatin kakak terus dong…” seruku.

“Eh, i-iya… ini aku lagi makan kok,” jawabnya terbata-bata. Dia lanjut makan.

Tapi setelah itu berhenti lagi dan kembali menatapi buah dadaku. Aku senyum-senyum sambil geleng-geleng kepala melihat ulahnya.

“Eko???”

“I-iya kak? Maaf kak, sepertinya aku gak lapar” ucapnya.

“Ya udah gak apa”

Aku kemudian mengambil piringnya dan membawanya ke dapur. Aku lanjut bersih-bersih rumah, sedangkan dia masih terus memperhatikanku. Kami ngobrol selagi aku bersih-bersih. Dia kemudian jadi ikut membantuku. Tentunya dengan tujuan ingin curi-curi pandang melihat bagian depan tubuhku. Aku yakin dia sedang bertanya-tanya dalam hati kenapa aku cuek saja berpakaian sembrono begitu di hadapannya.

“Kalau tidak tahan, lepaskan di kamar mandi,” ucapku tersirat. Eko tampaknya mengerti maksudku karena dia terlihat salah tingkah.

Setelah bersih-bersih aku kemudian pergi mandi. Eko berlagak lugu mengikutiku, membuatku ingin tertawa. Ku suruh dia untuk mandi juga di kamar mandi yang satu lagi yang ada di dekat dapur. Aku masih belum ingin menunjukkan diriku yang bugil polos padanya saat ini. Aku ingin melakukannya pelan-pelan. Aku biarkan saja dia terus penasaran akan tubuhku. Membiarkan pikiran remajanya melayang tinggi membayangkan hal-hal jorok tentang diriku. Mungkin saja dia sedang menuntaskan birahinya dengan beronani di kamar mandi saat ini. Setelah mandi, aku yakin dia masih berharap aku tetap berpakaian yang asal-asalan di hadapannya.

Akupun memenuhi harapannya dengan hanya memakai baju kaos lengan panjang putih polos, tanpa mengenakan apa-apa lagi di baliknya dan tanpa bawahan sama sekali! Pakaian seperti itu membuat sebagian pantatku terbuka untuk dipandangi. Jenis kaosnya yang longgar, tipis dan berdada rendah juga membuat sebagian payudaraku yang cukup besar akan terlihat terlihat. Dengan posisi tertentu putingku akan terlihat, bahkan kadang buah dadaku menyembul keluar dari kaos. Namun dengan posisi bagaimanapun aku tetap menjaga agar vaginaku tidak terlihat, belum saatnya pikirku.

Kaos lengan panjang ini biasanya kugunakan sebagai pakaian pelapis saat sehari-hari keluar rumah dengan menggunakan jilbab, tapi sekarang malah jadi pakaian untuk aksi pamer auratku. Dengan busana seperti itu akupun beraktifitas seperti biasanya di dalam rumah. Pemandangan yang tentunya tidak dapat ditolak oleh lelaki manapun. Pemandangan yang membuat lelaki manapun tidak akan tahan dan mupeng berat. Apalagi bagi remaja tanggung sepertinya yang sedang penasaran-penasarannya dengan tubuh wanita. Aku dapat melihat tonjolan di balik celananya.

Kadang dia memegang dan sedikit meremas tonjolan itu seperti ingin mendapatkan ransangan lebih. Saat tidak tahan, Eko tampak berlari ke kamar mandi. Aku tertawa geli melihatnya yang bersusah payah menahan laju spermanya agar tidak keluar sebelum sampai ke kamar mandi. Jika dibiarkan, Eko mungin tidak mau pulang dan ingin terus berada di sini. Namun aku menyuruhnya untuk pulang dulu sore harinya. Dia boleh kembali lagi besok. Dia tentunya harus pulang dan menyiapkan keperluan sekolanya untuk besok. Aku tidak ingin membuat keluarganya khawatir.

Hari-hari berikutnya, Eko semakin sering berkunjung ke rumahku meskipun bukan jam kerjanya. Dia sering datang lebih cepat. Dia kini tidak sungkan lagi untuk masuk ke dalam rumahku tanpa perlu izin dariku terlebih dahulu. Pemandangan diriku yang nyaris tanpa busana menjadi santapannya sehari-hari yang dapat dia saksikan sepuas-puasnya hingga spermanya keluar. Aku tanpa keberatan selalu membiarkan tubuhku menjadi objek pemuas fantasinya.

Berusaha berbusana seseksi dan semenggoda mungkin di hadapannya demi membuat bocah SMP itu mati-matian menahan nafsu birahinya padaku. Aku juga merasa puas bisa berbuat seperti ini. Rasanya menyenangkan sekali. Malam itupun bukan terakhir kalinya dia tidur bersama denganku. Setelah malam itu kami sudah berkali-kali tidur satu ranjang. Kadang aku yang mengajaknya, tapi kebanyakan dia yang meminta ingin menginap di rumahku. Bagiku tidak masalah, aku selalu mempersilahkannya.

“Belum pulang Ko? Kamu mau nginap di sini lagi?” tanyaku padanya.

Karena sudah lewat magrib namun dia masih berada di kamarku. Dari tadi dia menemaniku yang sedang sibuk mengerjakan tugas di atas tempat tidur. Dia berada di sebelahku. Saat ini aku hanya mengenakan celana dalam saja. Nyaris hampir seluruh tubuhku menjadi santapan bocah itu dari tadi. Puas menyaksikan bagaimana aku beraktifitas di dalam rumah dengan hanya memakai celana dalam. Hari ini dia datang ke rumahku sebelum aku pulang dari kampus. Dia bahkan menyaksikan bagaimana aku membuka seluruh pakaianku. Mulai dari membuka jilbab, kemeja, celana jeans hingga akhirnya aku hanya mengenakan celana dalam saja.

“Mau kak… boleh kan? Di rumahku lagi gak ada orang soalnya, malas sendirian di rumah,” jawabnya.

“Ih… kamu ini gak ada puas-puasnya. Iya Eko sayang… boleh kok,” balasku sambil mengacak-acak rambutnya. Dia tampak senang sekali.

Aku melanjutkan menyelesaikan tugasku, sedangkan Eko masih terus di sebelahku. Setelah beberapa saat kemudian tugaskupun selesai. Aku kemudian berpakaian yang wajar dan mengajaknya keluar untuk mencari makan. Karena malas membawa mobil, kamipun memakai motor maticku. Ku suruh Eko yang membawanya sedangkan aku bonceng di belakang. Kami makan di sebuah warung bakso langgananku yang letaknya tak jauh dari komplek perumahanku.

Beberapa orang di sana tampak memperhatikan kami. Mungkin merasa heran melihat bocah dekil sepertinya datang bersama gadis dewasa cantik sepertiku. Aku sendiri cuek saja dengan apa yang dipikirkan orang lain. Selesai makan, kami berencana untuk langsung pulang. Namun tiba-tiba aku berpikir ingin mengunjungi rumahnya. Selama ini aku belum mengetahui dimana rumah Eko. Akupun mengatakan padanya kalau aku mau mampir ke rumahnya.

“Duh… gak usah kak. Rumah aku jelek. Berantakan banget”

“Ish… kok gak usah sih? Kakak penasaran nih dimana rumahmu. Kan orangtuamu lagi gak di rumah sekarang. Kalau gak boleh, kamu juga gak boleh lagi lho main ke rumah kakak!”

“Eh… jangan dong kak… Ya sudah deh kak kalau begitu, boleh deh” Dia akhirnya mau walaupun terpaksa.

Dia tampaknya memang malu untuk mengajakku ke rumahnya, tapi tentunya aku tidak mempermasalahkan bagaimanapun kondisi rumahnya nanti. Rumahnya ternyata memang sangat sederhana. Sebuah rumah kecil yang berada di ujung jalan. Suasana di sekitarnya sangat sepi. Sekitar rumah itu masih banyak lahan kosong. Rumah-rumah lainnya berada cukup berjauhan. Aku tidak menyangka kalau tak jauh dari komplek perumahanku yang terbilang elit terdapat pemukiman penduduk yang sangat sederhana seperti ini. Di dalam rumah itu juga tidak banyak perabotan.

Hanya ada sebuah kursi panjang dengan meja kecil di depan. Ruang tamunya menyatu dengan ruangan lain. Ada televisi di atas meja lainnya di pojok kanan, di sebelahnya ada lemari pakaian yang cukup besar. Di rumah itu hanya ada satu kamar tidur dan satu kamar mandi, yang mana kamar mandinya berada di dalam kamar tidur tersebut. Eko menjelaskan kalau dia yang biasa tidur di kamar itu. Orangtuanya biasa tidur di luar karena di dalam kamar begitu panas. Tempat tidurnya juga sangat sederhana, hanya sebuah kasur kapuk yang sudah tampak sobek sana-sini hingga membuat isi kapuknya keluar.

“Jadi kamu tidurnya di sini Ko?”

“Iya kak… jelek banget kan? Hehe”

“Hmm… biasa aja kok…” ucapku sambil mendudukkan pantatku di atas kasur itu. Ku raih bantal guling yang menjadi satu-satunya bantal yang ku lihat di sini. Ku cium baunya.

“Bau banget,” seruku langsung melemparnya ke arah Eko.

“Maaf kak, lama gak dicuci, hehe”

“Jorok ah kamu”

Aku kemudian bangkit berdiri, lalu menuju ke jendela untuk menutup tirainya. Kaca jendelanya tampak sudah pecah.

“Kok ditutup kak? Kan panas,” tanyanya bingung. Aku tersenyum.

“Kita tidur di sini aja yuk malam ini,” ajakku yang terlontar begitu saja dari mulutku.

“Hah? E-emang kakak mau tidur di sini? Kan tempatnya jelek kak, banyak debu, panas lagi”

“Ya gak papa. Kakak pengen coba tidur di sini. Sesekali gak apa deh kayaknya,” balasku sambil senyum-senyum mulai membuka kancing kemejaku.

Ku lihat wajah Eko. Dia tampak tertegun dengan apa yang sedang ku lakukan. Dia tahu kalau dia akan kembali melihat pemandangan yang amat dia sukai itu. Aku tentunya tidak akan mengecewakan harapannya tersebut.

“Gak apa kan kakak nginep di sini?” ujarku lagi yang kini sedang berusaha melepaskan celana jean panjangku.Kemeja dan baju dalam atasku sudah lepas dari tubuhku.

“Ya udah kalau kakak mau. Aku sih senang banget kalau kakak mau nginap di sini, hehe” jawabnya yang ku balas dengan senyuman.

Akhirnya saat ini aku kembali hanya mengenakan celana dalam saja. Aku tersenyum kecil padanya yang tampak begitu senang bisa melihat tubuhku yang nyaris tanpa busana lagi. Eko berjalan mendekat ke arahku, tapi aku segera menyuruhnya untuk memasukkan motorku dulu ke dalam rumahnya. Selain agar motorku lebih aman, aku juga tidak ingin tetangganya curiga melihat ada motor terparkir di depan rumahnya. Aku tidak ingin ada kejadian yang mengganggu acara menginapku. Saat Eko kembali ke dalam kamar, aku sedang duduk bersimpuh di atas tempat tidur buluknya.

“Di rumahmu gak ada hantu kan?” tanyaku iseng.

“Ya nggak lah kak, kak Dira ada-ada aja. Mana ada hantu yang mau datang ke rumah jelek kayak gini”

“Hahaha, mana tahu kan…”

“Tapi kalau ada kakak di sini mungkin aja hantunya pada datang, hehe”

“Ih kamu ini… ”

Sebenarnya walaupun sudah membuka baju, tapi aku masih saja merasa kepanasan. Hawa di dalam kamar ini memang panas, ditambah dengan tidak adanya kipas angin. Ini jelas berbeda dengan yang biasa ku rasakan di kamarku yang sangat nyaman dan sejuk. Namun aku mencoba untuk membiasakan diri. Aku kemudian merebahkan tubuhku berbaring telentang di atas kasur. Lumayan empuk menurutku.

Ku sapu keringat yang membasahi wajah dan leherku, termasuk keringat yang membanjiri buah dadaku. Aku melirik ke arahnya. Dia tampak terpaku melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Dia pastinya amat suka melihatku dengan kondisi seperti ini. Akupun amat senang bisa membagi keindahan tubuhku ini padanya. Walau tentunya dia pasti tidak menyangka bisa melihatku tanpa busana seperti ini di rumahnya sendiri.

“Kamu kenapa berdiri di sana terus? Sini dong…” ajakku lalu menggeser tubuhku merapat ke dinding.

“Eh… i-iya kak” Eko mendekat dan duduk tak jauh dari kasur.

Dia tampak bingung harus duduk dimana, karena di atas kasurnya sudah ada aku yang sedang berbaring. Dia kelihatan sungkan untuk naik ke kasur. Di sudut kasur itu ada bagian yang robek hingga membuat isi kapuknya keluar. Aku raih isi kapuk itu.

“Ih, kamu pakai malu-malu segala,” seruku sambil melemparkan isian kapuk itu pada Eko.

Aku tertawa cekikikan melihat Eko gelagapan karena sebagian masuk ke mulutnya.

“Ah… kak Dira ngajak perang nih kayaknya” ujarnya.

Dia kemudian mengambil isi kapuk dari lubang sobekan yang lain dan balas melemparkannya padaku. Sekarang gantian aku yang dibuat menjerit.

“Akhhh…. Eko… kamu ini, kakak gak sebanyak itu tadi,” ucapku sambil tertawa-tawa membalas serangannya.

Akhirnya terjadilah perang saling melempar isi kapuk. Dengan posisi seperti ini tentunya Eko lebih diuntungkan. Eko dapat menghindar dengan mudahnya karena dia duduk dan bisa berdiri menjauh, sedangkan aku yang berbaring telentang hanya bisa pasrah terkena serangannya. Meskipun begitu ini sangat menyenangkan. Akupun yakin kalau Eko juga sangat menikmati momen ini. Dia pastinya terangsang melihat keadaanku yang acak-acakan karena ulahnya. Wajah maupun tubuh telanjangku kini penuh dengan isi kapuk.

Aku yang keringatan membuat kapuk itu menjadi menempel di tubuhku. Aku sambil tertawa-tawa akhirnya memohon-mohon padanya agar berhenti, namun dia terus saja melempariku. Dia tampak kesenangan sekali. Puas sekali dia bisa membuat aku kesusahan sampai memohon-mohon ampun padanya. Akhirnya setelah puas, barulah dia berhenti. Aku benar-benar acak-acakan sekarang. Kami sama-sama mandi keringat karena kepanasan.

“Jahat ih kamunya… “ ujarku sambil menyingkirkan kapuk-kapuk yang menempel di rambutku.

“Hehehe, maaf deh kak…”

“Bantuin kakak sinih. Gara-gara kamu nih,” suruhku kemudian.

“I-iya” Eko mendekat dan duduk di sampingku.

Tampak dia masih sungkan, tapi kemudian mau juga untuk menyentuh rambutku, membantuku menyingkirkan benda ini dari rambutku. Ini adalah pertama kalinya Eko menyentuh diriku. Ini juga pertama kalinya rambutku disentuh oleh laki-laki. Ku rasakan tangannya gemetaran. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Namun ku yakin dia sedang terangsang berat.

“Jangan cuma yang di rambut aja dong…” ujarku.

“Eh, i-iya kak” jawabnya dengan suara bergetar.

Eko kemudian juga membantu memungut kapuk yang menempel di leher, bahu dan juga punggungku. Untuk bagian yang lain dia sepertinya tidak berani. Bocah itu sungguh beruntung. Akhirnya kini dia juga bisa menyentuh kulitku. Setelah beberapa lama, tubuhku akhirnya bersih dari kapuk-kapuk yang menempel. “Makasih,” ucapku sambil mengacak-acak rambutnya, kemudian bangkit menuju kamar mandi untuk kencing. Sambil berjalan aku menurunkan celana dalamku.

Sebelum masuk ke kamar mandi celana dalamku sudah terlepas, tercecer begitu saja di depan pintu kamar mandi. Aku tersenyum pada Eko sebelum menutup pintu. Tingkahku yang semakin nakal tampaknya membuat bocah itu semakin belingsatan. Sekembalinya dari kamar mandi, aku memutuskan untuk tidak mengenakan celana dalamku kembali. Aku akhirnya benar-benar telanjang bulat tanpa sehelai benangpun yang menutupi di depan bocah itu. Ku biarkan seluruh tubuhku terekspos demi memanjakan matanya.

Aku tidak mengira akhirnya aku benar-benar telanjang bulat di depan laki-laki yang bukan muhrimku. Perasaanku campur aduk, antara takut, senang, grogi dan perasaan yang tak jelas apa namanya. Kenyataan aku yang sedang benar-benar telanjang di depan laki-laki betul-betul membuat perasaanku tak karuan. Jujur saja aku masih belum mengerti apa yang sebenarnya ku inginkan dari berbuat seperti ini. Hanya saja aku tidak dapat menahannya, mengalir begitu saja. Mungkin memang inilah aku yang sebenarnya. Inilah yang ku mau.

Entah apa jadinya jika orangtuaku yang selama ini selalu membimbingku agar aku selalu menjaga aurat-auratku, mengetahui kalau anak gadis mereka satu-satunya yang selalu mereka jaga saat ini sedang telanjang di hadapan laki-laki. Laki-laki yang jelas bukan suamiku, bukan juga pacarku, tapi hanyalah seorang bocah kampung dekil.

“Panas banget yah Ko? Kayaknya kakak gak bakal bisa tidur deh kalau panas gini,” ucapku berlagak cuek meskipun perasaanku campur aduk.

Namun aku harus tetap tenang. Aku tahu resiko yang mungkin terjadi pada diriku karena berbuat nekat seperti ini. Meskipun masih bocah, tapi dia tetap laki-laki, dan sedang mupeng berat, bisa saja kan dia hilang kendali. Sedari tadi tatapan matanya selalu tertuju ke selangkanganku. Aku risih tapi horni saat vaginaku diperhatikan seperti itu. Namun aku memang sengaja ingin menunjukkannya padanya. Khusus untuknya. Khusus demi membuat birahi bocah itu naik dan nafsu kepadaku. Aku mengusap leherku yang basah karena keringat.

“Kamu gak kepanasan? Buka aja bajumu biar gak gerah,” ujarku lagi padanya. Entah mengapa aku malah menantang diriku dengan menyuruhnya buka baju. Tentunya Eko tidak keberatan menurutinya.

“I-iya kak” Dengan perlahan Eko kemudian membuka bajunya. Sekarang dia sudah bertelanjang dada.

“Hihihi… Kamu ini masih aja malu-malu. Ini kan kamarmu sendiri, jadi kalau kamu mau telanjang ya telanjang aja,” pancingku.

“Gini aja kak, gak papa”

“Ihh… masa kakak telanjang sendirian sih? Kamu juga dong,” godaku lagi.

Dia tampak ragu, sepertinya masih sungkan untuk telanjang di depanku. Namun mungkin karena nafsu, dia akhirnya mau juga membuka celananya, Ekopun telanjang. Pemandangan yang begitu kontras. Gadis kuliahan sepertiku berada dalam satu kamar yang sumpek, panas dan kotor bersama seorang bocah SMP dekil dalam kondisi sama-sama tanpa busana! Kami berdiri hadap-hadapan. Aku senyum-senyum menatapnya, membuat bocah itu jadi salah tingkah. Tampak penisnya sudah amat tegang. Dadaku berdebar kencang, aku yakin Eko juga demikan.

“Kak Dira cantik banget,” ucapnya kemudian yang ternyata sambil mengocok penisnya.

Perbuatan tidak sopan itu kini dilakukannya terang-terangan di hadapanku. Eko tampaknya mulai berani. Ini pertama kalinya aku melihat penis laki-laki, apalagi sambil mengocoknya di hadapanku. Aku tentunya tidak mempermasalahkan kelakukannya itu. Aku persilahkan dia untuk mengocok penisnya sambil memandangi tubuh telanjangku. Dia tampak lega dan senang mengetahui aku tidak memprotes. Mungkin momen bisa beronani di depanku seperti ini sudah lama dia tunggu-tunggu.

“Cantikan mana, kakak pakai baju atau nggak?” godaku.

“S-sama-sama cantik kok kak… tapi aku suka lihat kakak kayak gini,” aku tersenyum mendengar pujinya. Kondisiku yang sedang keringatan telanjang bulat tentu saja dia menyukainya.

“Ngapain ya enaknya…” Aku bergumam sendiri sambil bergaya seperti sedang berpikir. Ku lirik bocah itu, sepertinya dia menantikan apa yang akan ku lakukan berikutnya.

Aku kemudian mendekatinya, melewatinya dan memungut bantal guling yang ada di belakangnya. Ku peluk guling itu selama beberapa saat sambil sesekali tersenyum melirik pada Eko. Bantal guling itu kemudian ku lempar ke kasur, kemudian ku duduki. Dengan perlahan, aku kemudian menggerakkan pinggulku maju-mudur. Menggesekkan vaginaku ke guling yang kusam dan bau itu. Sambil melakukannya, aku selalu memberikan senyum manis pada Eko, seakan menyuruhnya untuk menikmati pemandangan yang khusus ku persembahkan hanya untuknya.

Entah apa yang ada dipikirannya melihat aku bertingkah lacur seperti ini, melihat bagaimana gulingnya digeseki oleh selangkangan gadis kuliahan cantik sepertiku. Yang pasti kocokan tangannya pada penisnya semakin cepat. Bocah itu tampak begitu menikmati. Gesekan guling pada vaginaku membuat akupun merasa keenakan. Membiarkan dia melihat diriku seperti ini juga memberikan sensasi nikmat tersendiri bagiku. Vaginaku terasa basah, membuat guling itu juga jadi ikut-ikutan basah.

“Ughh…. Kak Dira…” erang Eko.

Tampaknya tidak lama lagi dia akan keluar. Kocokannya semakin cepat. Akupun makin mempercepat goyangan pinggulku, menghentak-hentakkan selangkanganku naik-turun dengan kuat pada guling tersebut. Aku juga ikut mendesah-desah sambil menatap sayu padanya. Memancing sperma bocah itu supaya segera menyemprot keluar dari kantung zakarnya. Melihat pemandangan seperti ini, ditambah dengan mendengar desahanku, akhirnya membuat Eko tidak kuasa menahan laju spermanya.

“Ahh….. Kak Diraaaaa…. Ugh…”

Crrroooottttt…. Crroooootttt… Spermanya muncrat bertubi-tubi. Tumpah berserakan begitu banyaknya ke lantai. Semprotannya cukup kencang hingga ada yang tercecer di kasur dan hampir mengenaiku. Bersamaan dengan itu aku juga merasa seperti kesetrum. Aku juga orgasme. Aroma anyir yang sepertinya merupakan aroma khas dari sperma langsung memenuhi ruangan ini. Meski cahaya lampu kamar tidak terang, namun aku dapat melihat ceceran sperma bocah itu sungguh banyak, kental dan menggumpal. Warnanya agak kekuningan. Terlihat menjijikkan.

“Udah Ko?” tanyaku padanya yang tampak sempoyongan setelah mengosongkan isi kantong zakarnya di hadapanku.

Eko menggangguk lemas tapi puas. Dia keringatan. Mungkin ini pengalaman beronani paling nikmat yang pernah dia rasakan. Hari yang akan selalu dia ingat.

“Maaf kak… aku gak sempat ke kamar mandi,” ucapnya kemudian.

“Ya gak apa… ini kan rumahmu sendiri”

Eko kemudian ke belakang mengambil kain lap untuk membersihkan ceceran spermanya. Akupun ikut membantu membersihkan karena merasa bertanggung jawab sudah membuat berantakan, hihihi. Aku ambil kain lap itu dan mulai ikut membersihkan. Semakin dekat dengan gumpalan sperma yang banyak itu semakin kuat pulalah bau anyirnya. Namun semakin lama, aku juga semakin terbiasa dengan baunya, bahkan aroma anyir sperma itu justru membuat aku sange.

Saat membersihkan, tanganku juga tak sengaja terkena sperma karena kurang berhati-hati. Aku melihat ke arah Eko, dia ternyata sedang memperhatikanku, khususnya pada tanganku yang terkena ceceran spermanya. Dia mungkin tidak pernah membayangkan kalau air maninya bisa hinggap di tangan cewek cantik sepertiku. Ada cewek cantik yang mengelap spermanya di lantai tentunya juga tidak pernah terbayangkan olehnya.

“Kenapa Ko?” tanyaku membuyarkan lamunannya.

“Eh, anu… Biar aku aja kak… Nanti tangan kakak kotor”

“Gak apa kali Ko… kamu aja yang minggir, biar kakak aja yang bersihin”

“Ah, jangan lah kak… kan aku yang bikin kotor, aku yang numpahin sperma masa kakak yang bersihin,” balasnya.

“Udaaaah… gak apa” Aku kembali mengelap.

Kali ini ku lakukan agak sembarangan tanpa berhati-hati sama sekali, tentunya membuat tanganku semakin banyak mengenai ceceran sperma itu. Memang sengaja ku lakukan itu, sengaja menunjukkan padanya kalau aku sama sekali tidak keberatan membersihkan tumpahan spermanya meskipun tanganku harus berlumuran cairan menjijikkan itu.

Akhirnya lantai kamarnya bersih, namun tanganku yang kotor jadinya. Aku tidak bisa mengelap tanganku di kain itu karena kain lapnya sudah becek seluruhnya oleh sperma. Aku kemudian ke kamar mandi, berniat membersihkan tanganku dan kain lap itu dengan air. Ku buka lebar-lebar kain lapnya, tampak di sana bagaimana sperma bocah itu menggumpal dengan banyaknya. Aromanya begitu tajam.

Meski masih jijik, ku kucek kain lap itu dengan tanganku setelah mengguyurnya dengan air. Ku lihat Eko terus memperhatikan aku yang sedang sibuk di kamar mandi. Aku merasa seksi membersihkan kain lap penuh sperma begini, apalagi sambil diperhatikan oleh Eko, bocah yang air maninya sedang kubersihkan ini. Setelah beberapa saat, baik kain lap dan tanganku akhirnya sudah bersih. Aku keluar dari kamar mandi menenteng kain lap tadi.

“Udah bersih kak?”

“Udah dong… nih liat” jawabku sambil mengembangkan kain lap itu.

Menunjukkan padanya kalau tidak ada sisa sperma yang tersisa. Semuanya sudah hilang kubersihkan. Aku bahkan menggunakan lap basah itu untuk mengelap tubuhku yang keringatan. Hawa yang panas membuat aku keringatan, semakin berkeringat karena aksi bersih-bersih sperma tadi. Eko lagi-lagi melongo melihat aksiku. Dia mungkin tidak menyangka kalau aku akan menggunakan kain lap itu untuk menyapu keringat di tubuhku.

“Kenapa? Panas tahu…” ucapku cuek, padahal aku merasa sangat erotis.

Kain lap bekas sperma malah aku gunakan ke tubuhku. Meskipun kainnya sudah bersih dari ceceran sperma, tapi sebenarnya baunya masih tertinggal. Badanku sekarang rasanya lebih adem. Setelah selesai, aku lempar kain lap itu sembarangn ke pojok kamar.

“Yuk sekarang kita bobo” ajakku kemudian.

Aku kemudian menuju kasur dan langsung telentang di sana. Eko setuju. Namun dia terlihat sungkan untuk naik ke kasur bersamaku.

“Naik aja… bobok bareng sini sama kakak. Gak papa kok,” suruhku lagi.

“A-aku harus pake baju dan celana dulu gak kak?” tanyanya masih ragu-ragu.

“Gak usaah… Ih kamu ini. Cuma kita berdua aja kok di sini, telanjang ajaaaah” balasku.

Eko cengengensan, dia akhirnya mau naik ke kasur. Aku mengacak-acak rambutnya karena gemas. Dia kemudian berbaring tepat di sebelahku. Yang mana kami sama-sama bertelanjang bulat. Kulit kami menempel karena berbaring berdesakan. Tentunya ini tidak akan menjadi acara tidur yang nyaman, selain kasurnya yang sempit, kamarnya juga panas dan sumpek. Namun aku menikmatinya. Apalagi bagi Eko, ku yakin dia lebih sangat menikmatinya. Dia pastinya sangat senang bisa tidur berdesakan bertelanjang berdua denganku. Kami akan menempel sepanjang malam. Tubuhnya akan terus bergesekan denganku. Nafsu bocah itu tentunya belum hilang, dapat ku lihat dari penisnya yang selalu tegang.

“Ko… Guling kamu basah, malam ini kamu bisa meluk kakak sebagai gantinya. Mau?”

“M-mau” jawabnya, Ekopun langsung memeluk tubuh telanjangku.

Awalnya hanya seperti meletakkan tangannya di tubuhku saja, namun setelah beberapa lama dia akhirnya memelukku dengan erat. Di bawah sana, aku dapat meresakan penis tegangnya pada pahaku.

“Ko, tolong ambilkan hape kakak…” suruhku untuk mengambilkan hapeku yang berada di sebelahnya.

“Kita foto-foto dulu yah sebelum bobo”

“Eh, i-iya kak…”

Akupun mengambil fotoku berdua bersama bocah ini. Yang mana kami dalam kondisi telanjang bulat, dengan tangan Eko yang memeluk tubuhku dan kepalanya yang bersandar di bahuku. Ku lihat hasil foto itu, tampak bagaimana aku terlihat begitu berantakan. Wajahku memerah, rambutku tergerai basah karena keringat, begitupun tubuhku yang terlihat basah karena baru saja dibasuh pakai kain lap tadi.

Sedangkan bocah itu tanpa ekspresi melongo ke arah kamera. Membuatnya kelihatan bodoh dan jelek sekali. Aku ambil foto lagi. Kali ini ku suruh Eko menciumku di pipi, Ekopun menuruti. Kami lanjut mengambil beberapa foto lagi kemudian. Semuanya adegan Eko menciumiku, baik pipi, leher maupun pundakku. Melihat hasil foto diriku dicium-cium seperti ini membuat aku merasa seksi sekali.

“Cukup yah untuk malam ini, kapan-kapan kita foto-foto lagi yah” ucapku, Eko mengangguk.

Akupun meletakkan hapeku dan kemudian berusaha untuk tidur. Mataku sudah berat dan sangat mengantuk. Akupun tertidur tak lama kemudian. Aku tidak tahu apakah Eko juga langsung tidur ataukah memilih menuntaskan birahinya dengan beronani sekali lagi. Suka-suka dia aja. Paginya aku terbangun karena ulah Eko yang sedang menggesek-gesekkan penisnya di pahaku. Sesaat aku merasa shock karena sedang dalam keadaan telanjang bulat tidur berduaan bersama seorang laki-laki. Mungkin karena efek baru bangun tidur dan juga ini merupakan pertama kalinya aku tidur telanjang total berdua dengan laki-laki.

“Eko… kamu udah bangun?”

“Udah kak,” jawabnya tanpa berhenti menggoyangkan pinggul.

Nafsunya tampaknya sedang naik pagi ini. Aku dapat memakluminya. Aku kemudian melihat jam pada ponselku, ternyata sudah pukul lima pagi.

“Kakak pulang dulu yah,” ujarku kemudian.

“Yaaahh… nanti dong kak…” dia memelas sambil memeluk tubuhku dengan erat, namun masih tetap menggesekkan penisnya di pahaku.

Aku tersenyum saja sambil mencubit hidungnya. Bocah itu sangat menikmati keintiman ini. Bisa tiduran telanjang berduaan denganku tentunya membuatnya ketagihan, hihi.

“Tapi kakak harus pulang… Hmm… ya sudah, sebelum kakak pulang kamu keluarin aja lagi spermamu”

“Oke deh kak”

Eko tampaknya memang ingin beronani dengan posisi seperti itu. Dia lanjut menggesekkan penis tegangnya ke pahaku. Setelah mendapat persetujuan dariku, gerakannya kini jadi lebih mantab. Sambil menggesekkan penis di pahaku, tangannya terus memeluk tubuhku erat, bibirnya juga menciumi pundak dan leherku. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya Eko merasa ingin muncrat. Dia kemudian memutar badan dan menumpahkan spermanya di lantai sebelah tempat tidur.

Walaupun Eko tidak rela aku pulang, tapi aku tetap bersiap-siap setelah itu. Tak lupa aku membersihkan ceceran spermanya dulu sebelum pulang. Akupun pulang kemudian. Aku mengawasi keadaan di luar sebelum pergi dari sini. Aku tak ingin terjadi hal yang yang tidak diinginkan. Setelah memastikan keadaan sekitar aman, akupun segera memacu motorku meninggalkan rumahnya.

“Aku cinta kakak,” ucapnya lantang ketika aku sudah melewati pagar rumahnya. Aku tersenyum, lalu membalasnya dengan memeletkan lidah. Dasar bocah, hihihi.

RAMALAN MIMPI