Kasih Sayang Mama Part 2

Aku terbangun oleh ketukan di pintu. Mama membuka pintu sedikit lantas mengintip.
Aku mendengar suara seseorang. Mama seperti menolak. Dari ucapannya mama
terdengar gusar. Hingga entah bagaimana caranya, mama terdorong dari pintu dan ada
pria masuk. Pria itu lantas melihatku. Kurus, dekil, terantai bagai teratai yang layu, tetapi
terluka.
“Ya tuhan,” jelas pria itu terkejut, begitu terkejutnya seperti hingga tiada lagi yang bisa
mengejutkannya saat ini. “Kenapa dia begitu?”
Mama berteriak, “Bukan urusanmu kalau kuhukum anak nakal itu.”
“Benarkah nak?” tanya pria itu padaku. “Apa yang terjadi hingga kamu memar semua.
Hingga kontolmu pun ikut memar?”
Aku hanya mampu merintih, ingin kuteriak hatiku melara – lara, “gak ngapa – ngapain.
Mama hanya suka nyiksa aja.”
“Serius? Dulu mamaku juga suka nyiksa. Sayang keburu kecelakaan sebelum aku gede.”
Mama berteriak, “pergi sekarang! Keluar!”
Tiba – tiba datang pria lain, yang baru kali ini kulihat, menghampiri mama dan
menamparnya hingga mama terjatuh. “Lu mau ngancem gw hah? Gw baru keluar
penjara kemarin. Gw gak keberatan masuk lagi pake kasus pembunuhan. Lu mau
ngancem atau kerja sama?”
Pria pertama memandang mama, “dia gak jelek – jelek amat. Mungkin akhir tiga puluhan.
Buka baju lu sambil joget, gw pingin liat. Gw dah bosen nyodomi orang.”
Aku yakin mama takkan mau melakukannya. Mama kembali teriak, “gak, gw gak mau.
Sama lagi gw aja gak pernah.”
“Oh ya, trus di mana dia sekarang hah?”
Mama seharusnya bilang kalau ayah polisi dan akan pulang. Tapi tentu mama gak bisa
berpikir jernih, sejernih mata air pegunungan, sekarang. “Dia pergi ninggalin anak sial
itu.”
“Benar nak?” Pria pertama bertanya padaku, “kenapa?”
“Ayah tak suka caranya memukulku.”
“Dia pengecut kalah sama wanita. Wanita liar itu, gimana ngehukumnya?”
Aku ceritakan semua.
“Jadi pertama kamu dipukul pantat dulu, kita mesti kasih juga ke dia. Pake rotan lebih
gak enak kan?”
“Iya kalau kena pantat. Tapi pecutnya lebih sakit kalau kena puting dan selangkangan.”
Mama terlihat pucat lantas berkata, “gak perlu. Biar aku nari sambil buka baju.”
“Oke, santai saja. Dah lama gw gak liat cewek.”
Mama lantas memunggungi mereka, namun langsung mereka larang hingga mama
kembali menghadap mereka. Mama melepas kancing blusnya satu – satu. Lantas roknya.
Setelah itu mama melipatnya dan menaruh di meja. Kini tinggal cd dan bh mama. Aku
belum pernah lihat wanita telanjang sebelumnya kecuali memek dan pantat bu Rahma
saat aku dipaksa menjilatinya.
Kini ku sadari mama masih menarik, saat hanya berbalut cd dan bh. Meski tidak cantik.
Aku heran kenapa ayah malah pergi.
Pria yang lebih besar bilang, “jangan bengong aja. Ayo lepas juga.”
Mama terisak menangis lantas melepas cd dan bh nya menampilkan jembutnya yang
jarang.
Pria besar tersenyum, “lumayan… lumayan… muter pelan!”
Mama benar – benar berputar dengan pelan, membuat yang lihat bisa lilhat seluruhnya.
“Gw demen nih liat susu sama pantatnya, kayak minta ditampar tuh pantat” kata orang
besar.
Mama meringis dan berkata, “gak perlu. Kalian ingin seks kan. Saya gakkan melawan
kok. Ayo.”
“Gw benci lonte yang cuma bisa ngentot buat nyenangin laki. Ntar gw bikin lu minta
dientot.”
Orang yang lebih kecil berkata, “suruh yang lain aja.”
“Oke Rud, dia bakal mau lu suruh apain juga.”
“Iya Yan, lonte lu ngerangkak kesini. Seret tuh susu ke lantai trus buka celana gw dan isep
kontol gw.”
Mama terlihat takut dan teriak, “gak. Cuma lonte yang lakuin kayak gitu, gw bukan
lonte.”
“Susah bener disuruh nurut. Nak, berapa kali kamu dipukul kalau gak nurut?”
“Namaku Kiki. Biasanya dua puluh pukulan pake rotan. Tapi kayaknya mesti digandakan
karena gak mau nurut sama kalian berdua.”
Mama berteriak lagi “dasar bajingan kecil. Akan mama balas ini.”
Yan bilang, “enggak. Lu bakalan baikin anak lu. Ki, ada tali gak di sini?”
“Ya, ada di garasi. Tapi dia,” kini kuberanikan menyebut mama dengan kata ‘dia’,
“biasanya suruh aku memegang sisi meja, kalau lepas mulai lagi pukulan dari awal.”
“Ide bagus. Kita liat apa dia seberani kamu. Gini aja, kamu ambil barang – barang yang
biasa diapakai nyiksa kamu.”
Aku pergi ke kamarnya lantas mengambil sisir, rotan, tali pecut dan kabel yang telah
dipakai ke kontolku. Lantas aku ke halaman rumah dan memotong bunga mawar yang
tangkainya banyak durinya. Aku buang bunga dan daun tinggal hanya menyisakan
batang berdurinya saja. Saat mama melihat ini, mama kembali mencoba tawar –
menawar.
“Kalian tentu gak mau menambah catatan buruk. Kalian bisa ambil mobil dan semua
uang di sini lantas pergi.”
“Lu bodoh atau apa hah? Gw gak takut kembali lagi.”
Aku lantas bilang kalau gak ada masalah. Mama gak kerja jadi gak kan ada yang
menyadarinya. Mama juga punya banyak uang hasil perceraian.
Mama menatapku dan berkata, “kamu akan nyesel bilang gitu!”
“Gak, dia gakkan nyesel. Sekarang ayo ke meja!”
Mama ke meja dan mencengkram sisinya. Mama lantas mengerang saat Yan bilang,
“buka kakinya. Gw ingin liat memeku goyang saat pantatlu dipukul.”
Mama melebarkan kaki membuatku bisa melihat memeknya lebih baik dibanding saat
mama berdiri. Pantatnya lantas dicambuk rotan membuat mama berjinjit dan berteriak.
Mama lantas mengelus pantatnya yang kini merah.
“Lu bandel, yang tadi gak diitung.”
“Sebenernya mama selalu tambah lima kali tiap kali aku gitu.”
Mama mulai menangis meraung – raung, namun tangannya kembali memegang meja.
Mama kembali dipukul sampai dengan empat puluh lima cambukan rotan. Pantatnya
benar – benar merah matang hingga ke paha. Reaksi mama hanyalah berteriak dan
mengangkat kaki seperti menari. Aku yakin mama akan muntah jika melihat memeknya
yang terbuka tertutup saat mama menari.
Mereka membiarkan mama lantas orang yang disebut Yan bertanya padaku, “gimana
reaksi mamamu menurutmu?”
“Caramu sebenarnya lebih keras. Tapi cara dia lebih lambat, hingga aku tak bisa merasa
mati rasa. Kalau diperhatikan, dia gak menjerit di duapuluh akhir pukulan.”
“Wow, kamu bener – bener bisa ngajarin kita nih.”
Mama kini berlutut, terengah – engah dengan badan penuh peluh, seperti sehabis lari
keliling kota, dipayungi lampu kota disekitarnya. Saat nafasnya kembali tenang, Rudi
berkata, “merangkak sini, seret tuh susu hingga merah. Kalau gak merah, gw merahin.”
Mama mulai merangkak dan mengernyit saat susunya diseret ke karpet hingga sampai
ke Rudi. Setelah itu mama berlutut dan susunya diperiksa.
“Bagus. Udah merah, meriah euy. Pentilnya juga keras kayak batu.”
Mama merintih, “itu karena sakit.”
Rudi berdiri lantas berkata, “terserah. Lepas celana gw hingga ke kaki.”
Mama melepas sabuk dan sleting lantas menurunkan celana. Kontol Rudi langsung
tampil karena tak pakai apa – apa lagi selain celana itu. Mungkin lebih besar dibanding
punya ayah karena mama menatap kagum.
“Mainin dulu pake lidah lu!”
Bagus, pikirku. Kini mama tahu rasanya saat aku harus menjilati memek bu rahma.
Rudi membuat mama menjilati seluruh batang, kepala bahkan testisnya setelah itu baru
menyuruh mama menghisapnya. Helm Rudi dimasukan, lantas mama menghisap kuat –
kuat. Setelah itu Rudi memegang kepala mama dan memasukan kontol hingga mentok.
Mama tersedak dan tangannya memukul – mukul kaki Rudi.
“Lu mesti bayar itu,” kata Rudi sambil melepas celana dan melemparnya ke sudut.
“Giliran gw. Sini lu,” kata Yana.
Mama menangis namun tetap merangkak menuju yana. Begitu sampai, Yana langsung
masukan kontol ke mulut mama. Kontol Yana tak sepanjang kontol Rudi, namun
diameternya lebih besar. Membuat mulut mama mesti membuka lebih lebar lagi. Saat
keluar, Yana memuntahkan peju ke wajah dan rambut mama, juga matanya.
“Bersihin pake jari terus jilat sampai habis.”
Mama seperti akan muntah. Tapi tentu aku tahu mama baru saja memuntahkan isi
perutnya.
“Kamu suka swalayan gak ki?” tanya Yana padaku.
Aku memejamkan mata kiri dan memelototkan mata kanan, “apaan tuh?”
“Itu, kamu mainin kontolmu hingga keluar.”
Sambil malu – malu aku menjawab, “kadang.”
“Tiap anak laki pasti ngelakuinnya. Tapi kamu mesti tahu disepong rasanya lebih nikmat.
Abis kita hukum dia karena muntah kita pake tiga jalan.”
“Pantatnya kemungkinan masih mati rasa. Coba pake pecut, rasanya sakit sekali apalagi
saat kena 3P.”
“Apaan tuh tiga p?”
“Puting, paha dan perut.”
“Bener. Kita iket dulu dia.”
“Gak perlu. Suruh aja buka kakinya lebar – lebar dan tangan diletakan di kepala. Kalau
dia menutup kaki, kita tambah lima hukuman.”
“Ide bagus. Oke lonte, siap ke posisi.”
“Gak adil,” rengek mama. “Tentu aku muntah. Kontolnya mentok hingga ke dalam.”
“Ke posisi.”
“Tunggu, kita siapin dulu. Biar ku bawa loofah dulu.”
“Apaan tuh loofah?”
“Tanaman kaya spons. Biasa dipake cewek buat bersihin kulit kering.”
“Trus buat apaan lagi?”
“Kita gosok dulu ke kulitnya biar lebih sensitif.
Mama menatapku tanpa berkata – kata.
Kuambil loffah dari kamar mandi dan kusuruh rudi memegang tangan mama di belakang
punggung sementara aku menggosok susu dan pentilnya. Mama menangis.
“Liat, kulitnya makin merah, makin meriah dan makin sensitif. Sekalian juga makin
magic.”
“Oh ya, paham nih.”
Rudi lantas mengambil loofah dan menggosok perut, memek dan paha mama hingga
merah. Rudi lantas menyuruh mama muter hingga Rudi bisa menggosok pantat mama.
Mama tetap menangis menahan perih. Akhirnya Rudi terlihat puas.
“Sepuluh kali di tiap susu, lima belas diperut, sepuluh di paha, sepuluh di belahan
pantat, kamu sama rudi pegang dan lebarin pantatnya, sepuluh di memeknya, sepuluh
di tiap bibir dan sepuluh di belahan pantat. Benar gak ki?”
Sebenarnya itu lebih dari yang kuterima, tapi kujawab kalau itu juga gak apa – apa.
Rudi melepaskan mama. Mama langsung menggosok tangannya. Lantas Yana berkata,
“taruh tangan di kepala.”
Air mata mama jatuh tak tertahankan saat tangannya diletakan di kepala.
“Buka juga kaki lu,” kata Yana.
Mama membukanya sedikit, namun Yana terus menyuruh hingga akhirnya mama
melebarkan paha sekitar empat langkah.
Satu pecutan di puting membuat tangan mama lepas. Otomatis puting itu dapat
tambahan lima pecutan. Pada bagian perut dan paha dalam mama hanya terengah –
engah kecil. Namun saat aku dan Rudi membuka pantatnya agar melebar, mama
menurunkan tangan dan mencoba melepas tanganku dan tangan Rudi. Mama jadi dapat
tambahan lima pecutan.
Yana lantas menyerahkan pecut padaku dan berkata, “nih ki. Selesaikan.”
Aku harusnya merasa kasihan pada mama karena aku tahu seberapa sakitnya dipecut.
Namun yang muncul di pikiranku adalah tahun – tahun penuh penyiksaan. Seperti
disuruh konsentrasi di kamp konsentrasi nasional sosialis.
Saat bibir luar memeknya dipecut, mama hanya berjinjit seperti menari. Namun saat
Rudi dan Yana melebarkan bibir memeknya hingga memeknya terbuka bagi pecutanku,
mama teriak saat menerima pecutan pertama. Mama menurunkan tangan lantas
mencoba memukul kami.
Telinga Yana kena pukul. Andai telinga itu tak diasuransikan, seperti kaki pemain bola,
atau dada artis, bisa – bisa jadi berabe kalau sampai putus. Yana terlihat marah,
“udahlah. Kita lilit aja dia.”
“Kita bisa gantung dia di garasi.”
“Bagus. Kita ke garasi, kamu di depan.”
Mama tahu apa yang akan menimpanya hingga mama mencoba berontak sepanjang
jalan kenangan. Di garasi, ujung tali kulempar ke mereka dan ujung lain kulempar ke
atas, ke langit – langit sekitar yang tingginya kira – kira dua setengah meter.
Mama berdiri gemetaran sementara kakinya diikat Yana. Rudi melihat – lihat garasi.
Memang tak ada poster grup ‘garasi’ namun tetap Rudi sepertinya terkesan. “Perkakas
ayahmu banyak juga, ada alat – alat mancingnya juga.” katanya.
“Ya, ayah suka sama mancing juga perkakas.”
“Jadi ada ide nih.”
“Pegang lonte ini, gw mau iket tangannya. Dia loncat – loncat terus, kayak longcat.”
Rudi lantas meremas susu mama, “lu boleh gerak – gerak semaumu kalau mau ini gw
tarik.”
Yana mengikat tangan hingga menyatu. Kepalan kanan di siku kiri. Kepalan kiri di siku
kanan. Mama dibaringkan. Tangan dan kaki lantas diikat ke tali ke atas. Tubuh mama
lantas diangkat, gak tinggi, hanya sampai kepalanya tak menyentuh lantai saja. Kira –
kira sejengkallah.
“Memeknya mesti dibuka deh kayaknya,” kata Rudi.
Rudi lantas menhampiri alat – alat mancing ayah dan mengambil empat kail untuk
umpan ikan. Bibir memek kiri dan kanan mama dipasangi dua kail yang sudah
berbenang. Tentu mama menjerit. Keempat benang lantas ditarik melingkari paha dan
diikat membuat kedua bibir memeknya terbuka lebar.
Rudi kembali ke tempat perkakas dan membawa tang. Puting mama lantas dicubit oleh
tang membuat mama kembali menjerit. Tang itu dikunci hingga menggantung.
Yana lantas mengambil joran (tongkat) pancing. “Kita bisa pake ini,” katanya. Lantas
melecut – lecutkan ke udara hingga berbunyi. “Sini Ki.”
Aku mendekat ke Yana. Yana menunjukan suatu titik di bagian atas memek mama. “Itu
itil. Gunanya kayak helm kontol kita. Liat efeknya kalau disentuh.”
Yana duduk di belakan mama dan dengan hati – hati mengarahkan pegangan joran
pancing ke memek mama. Ujung joran itu mengenai itil mama. Ternyata efeknya nyata,
meski tak sehebat efek bursa indonesia.
Mama melengking, tang di putingnya goyang – goyang seperti goyang lidah. Yana
melakukannya lagi hingga kira – kira sembilan kali. Mama berkelejotan, kepalanya
mengangkat untuk kemudian lunglai turun. Mulutnya tak henti menjerit.
Saat mama diturunkan, mama pingsan. Dibangunkan pun tak bisa. Akhirnya mereka
mencabut tang. Mama dibawa ke rumah dan diikat ke sofa. Setelah itu kami semua tidur.
***
Esoknya aku bangun lantas ke ruang tamu melihat mama. Mama sedang berbaring,
kakinya dilebarkan. Mungkit akibat sakit di selangkangan. Mama terlihat berantakan
dengan memar di mana mana. Berdasar pengalamanku disika bertahun – tahun, aku
yakin mama pasti akan sembuh dengan sendirinya.
Ada satu perbedaan di tubuh mama, dengan tubuhku dulu saat masih tersika. Memek
mama terlihat sangat memar dan bengkak. Kemarin tak setembem itu. Karena tembem
membuat memek mama terlihat sangat rapat dan singset. Kail pancing masih terpasang
di bibir memek mama. Karena penasaran, kuelus belahan memek mama dengan jariku.
Elusanku membuat mama sadar. Secara reflek kakinya menutup dan tangannya
mencoba menutupi susu mama. Namun ikatan pada tangan membuat mama tak bisa
melakukannya.
“Jangan ditutupi. Biar kulihat tubuhmu.”
“Oh, nak. Bagaimana mungkin mama kamu perlakukan seperti ini?”
“Mungkin saja. Tinggal kuingat tahun – tahun penuh derita yang kamu lakukan padaku.
Sekarang lu tahu gimana rasanya kan.
“Mama minta maaf nak. Bantu mama sayang. Mama janji gakkan menyakiti kamu lagi.”
5/1/23, 4:10 PM Kasih Sayang Mama – 2 | Cerita Sex
https://ceritaseru.xyz/kasih-sayang-mama-1136911-2 11/21
“Tapi janji tinggal janji, pukul cambuk tetap jadi. Gw gak percaya. Gw tahu lu udah gatel
pingin nyiksa gw lagi. Lagian, bisa apa gw? Gw masih kecil dan lu tau sendiri mereka
gede – gede.”
“Ayahmu punya senapan angin di atas lemari mama. Bawa dan tembak mereka
mumpung masih tidur.”
“Gila lu yah. Lu suruh gw jadi pembunuh? Ogah, mending gw ikut mlm daripada bunuh
temen gw.”
“Dasar setan! Bunuh mereka atau mama janji akan mama siksa kamu saat mama lepas.”
Bukannya takut, aku malah kesal. Aku ke kamar tempat mereka tidur dan
membangunkannya.
“Bangun. Mama bilang ada senapan angin di atas lemari. Bahkan mama nyuruh agar aku
bunuh kalian pake senapan itu. Dia mesti dihukum.”
“Tentu, coba cek Rud.”
Rudi bangkit dan lantas memeriksa lemari mama. Ternyata benar ada senapan.
“Senapan angin biasa. Tapi tetap bisa bunuh kita. Makasih Ki, udah nyelametin ini.”
“Bener bener mesti kita hukum. Tapi gw laper nih. Sarapan dulu yuk.”
Mereka melepas ikatan mama dan menyuruh mama masak. Setelah selesai, mama
disuruh berlutut sedang kami makan. Lantas mama berkata dengan lirih, “aku masak
banyak. Boleh minta makan dan minum?”
Yana lantas menuangkan kopi ke mangkuk dan menaruhnya di lantai. “Lu boleh minum,
lebih daripada itu tidak. Gw gak mau lu muntah lagi. Minum langsung kayak anjing.”
Mama merengek, namun membungkuk lantas minum langsung dari mangkuk. Mama
jelas haus.
“Waktunya tiga jalan,” kata Yana.
Aku penasaran, saat aku akan bertanya mama malah mendahuluti, “apa tuh tiga jalan?”
kata mama.
“Tiga jalan adalah filosofi kehidupan yang muncul lebih dahulu dibandingkan jalan
tengah. Seperti namanya, tiga jalan terbagi menjadi tiga. Pertama jalan depan, kedua
jalan tengah dan ketiga jalan belakang.
“Terdapat empat orang pelaku. Pelaku pertama adalah jalan, pelaku kedua adalah
pejalan satu. Pelaku ketiga adalah pejalan dua. Dan pelaku keempat adalah pejalan tiga.
Pejalan satu berbaring, lantas jalan berbaring di atasnya. Di atas jalan ada pejalan dua
dan di belakang jalan ada pejalan tiga.”
Aku makin gak ngerti, bahkan Rudi lantas bicara, “lu mau ngomongin filsafat sekarang?”
“Intinya, seorang ngetot memek sementara lainnya ngentot pantat dan mulut lu,” kata
Yana sambil menatap mama.
“Nah, kenapa lu gak langsung jelasin dari awal,” kata Rudi.
Mama meringis menyadari apa yang akan terjadi, “jangan sekarang. Selangkanganku
masih sakit akibat cambuk dan kail.”
“Lu dapet dua puluh pukulan karena nolak. Berlutut, tangan di kepala!”
Mama masih memohon, namun sambil berlutut dan memengang belakang kepalanya.
“Bagus. Kalau lu sampai lepas, gw pukul terus.”
Yana mengambil susuk dari wajan lantas memukul susu, lebih tepatnya putingnya
mama. Air mata mama mengalir namun mama tetap diam.
“Lu boleh gosok tubuh lu sambil istirahat,” kata Yana setelah selesai.
Mama mengelus putingnya yang mengeras.
“Karena lu tetep diam. Gw kasih kelonggaran. Ki, ada lotion gak?”
Aku mengambil lotion yang biasa dipakai mama. Saat kembali, Yana sedang mengikat
kail pancing lagi melingkar paha mama membuat bibir memeknya terbuka lagi. Yana
bilang mama boleh ngoles lotion di memek atau pantat kalau takut sakit.
Mama kembali berlutut melebarkan kaki, lantas mengoleskan lotion ke memek dan
anusnya. Aku terkejut. Mama tak pernah renang dengan memakai bikini karena tak ingin
memperlihatkan tubuhnya. Sedang kini mama memperlihatkan memek di hadapan
orang lain.
Yana mengambil dua tusuk gigi. Salahsatunya dipotong hingga setengah. Kedua tusuk
gigi itu lantas dipegangnya.
“Lu ambil satu. Kalau dapet yang pendek, gw dapet anuslu. Kalau dapet yang panjang,
Rudi yang dapet anuslu. Anaklu bagian mulutlu.
Mama menarik tusuk gigi lantas merintih menyadari dapet yang pendek. Rudi lantas
berbaring di lantai. Mama berjongok di atasnya dan memasukan kontol Rudi ke
memeknya. Tangannya memegang pinggul, mama tak hentinya meringis. Yana lantas
mendorong mama dan mulai memasukan kontolnya ke anus mama. Yana bahkan
memegang pinggul mama saat mendorong kontolnya.
Aku berlutut. Mama bahkan tak perlu disuruh. Mama langsung memasukan kontol ke
mulutnya dan mulai menjilati dan menghisapnya. Yana benar, rasanya lebih nikmat dari
swalayan. Bahkan erangan mama membuatnya lebih menarik.
Beberapa saat kemudian mama mulai berubah. Tubuhnya mulai bergerak menyambut
tiap tusukan di selangkangannya sambil tak hentinya menikmati kontolku di mulutnya.
Begitu nikmatnya hingga saat aku keluar, kontolku tetap keras dan mama tetap
menghisapnya hingga aku keluar lagi. Aku lantas menjatuhkan diri dan duduk.
Tanpa kontolku di mulutnya, mama mulai mengerang dengan wajah menahan nikmat.
Hingga akhrinya mereka keluar.
Yana tersenyum dan berkata, “bener – bener lonte, jepitannya bikin nikmat.”
Mama tersipu mendengarnya lantas bicara, “Entahlah, tak pernah senikmat ini saat
sama laki gw dulu. Mungkin karena lebih nikmat dibanding dicambuk.”
“Gw rasa lu memang jalang. Laki lu aja yang kelewat normal.”
Mama tersipu namun tetap diam. Lantas mama disuruh mejilati kontol kami hingga
bersih. Mama menurut tanpa protes meski di kontol Yana terdapat sisa kotoran dan
darah.
Kurasa mereka menyukai mama karena mereka membaringkan mama dipangkuan
mereka, yang sedang duduk di sofa, sambil membelai dan meremas susu dan memek
mama. Mama jelas sangat menikmati belaian itu.
Setelah beberapa menit, Yana berkata, “Ki, udah terpikir belum hukuman soal senapan
itu?”
Mama lantas bicara, “jangan, tolong jangan hukum saya. Saya bisa ngentot lagi kalau
suka.”
“Ya, lu udah bikin seneng sementara ini.”
Kukatakan kalau aku belum memikirkan sesuatu. Namun yang pasti aku tahu apa yang
takkan disukainya. Lantas kujelaskan soal ember kecil yang pernah tergantung
dikontolku. Bukankah kail juga bisa menahan ember?
Mama langsung panik, “jangan. Berat embernya bisa bikin robek kulit.”
“Bajingan, lu nolak lagi? Bener – bener gak pernah belajar ya. Bawa pecut sini!”
Mama merintih namun tetap mengambilnya, “tolong jangan terlalu keras. Saya tak
bermaksud membantah.”
“Tenang, lu mau di mana? Susu, memek atau belahan pantat?”
“Udah pada sakit nih. Boleh di perut atau di pantat saja. Biar saya gandakan.”
“Jadikan enam puluh saja. Tiap perut, punggung dan pantat dapat dua puluh. Kita lakuin
bareng biar cepet.”
“Oh Tuhan. Baiklah.”
“Oke Ki, ambil tiga ranting dari pohon!”
Aku ke dapur ambil gunting tanaman. Lantas keluar ke halaman belakang. Kupilih
ranting yang menjulur agak panjang, kira – kira semeter. Kupotong cabang – cabangnya
hingga menyerupai rotan.
Saat aku kembali, mama sudah berdiri dengan tangan di kepala. Mereka membelai
pantat dan perut sambil menerangkan efek ranting di kulit.
Mama lantas berkata, “aku berubah pikiran. Dua puluh pukulan di susu saja.”
“Telat, Kiki udah ambil ranting.”
“Gimana kalau tiga puluh pukulan di susu?” mama mencoba menawar.
“Pake ranting?”
“Oh tuhan, iya.”
“Gimana Ki?”
“Boleh, masing – masing sepuluh, di susu hingga bener – bener merah.”
“Kita undi siapa yang duluan.”
Kami mengundi, aku kebagian terakhir. Aku senang karena, saat bagianku tentu susuny
sudah sangat sakit.
Mama kembali menawar, “sekalian ikat aku saja.”
“Gak. Kita pingin lu lepasin tangan biar bisa nambah pukulan.”
Yana yang pertama. Mama menjerit tiap kali pecutan dan meninggalkan sepuluh tanda
merah di tiap susu.
Rudi memecut bagian lain yang belum merah.
Kini bagianku. Mama terengah – engah dengan tubuh penuh peluh. Rudi lantas
menyadari sesuatu, “liat susunya jadi gede,” katanya.
Rudi benar, susu mama jadi besar dan melorot. Kupecut keras berharap tangan mama
lepas, namun mama tak melepas tangan, hanya terus menjerit tiap lecutan. Susunya
telah jadi keras, lecutanku tak sedalam lecutan Yana.
Setelah selesai, kujatuhkan ranting. Mama langsung menurunkan tangan dan mengelus
susunya sementara air matanya ikut membasahi susu.
Yana lantas menyuruhku mengambil handuk dan mengisinya dengan es. Saat kembali
aku melihat mama berbaring, tangannya masih mengelus susu sementara memekny
dientot Yana. Rudi memegang tangan mama dan handuk dingin kuletakan di susu
mama. Mama berterimakasih padaku seolah – olah lupa kalau mama tak pelu es andai
tak kami hukum.
Setelah Yana selesai ngntot, Rudi menggantikannya. Kuraih dan kuposisikan kontolku ke
mulut mama. Mama langsung menghisapnya seperti bayi yang kelaparan yang diberi
botol susu. Saat akan keluar, kutarik kontolku dan menyemburkan peju ke wajah mama.
Tanpa perlu disuruh, mama meraih peju dengan tangan dan menghisapnya hingga
bersih.
Kami biarkan mama berbaring di sana dengan anduk dingin. Yana buat makanan
sementara aku membuat es teh manis. Kuberi mama teh manis dan mama
berterimakasih, seolah – olah aku telah melakukan sesuatu yang sangat besar baginya.
Kurasa mama perlu minum setelah berkeringat begitu banyak.
***
Yana datang lantas bicara, “lonte ini mulai bau. Kita mandikan saja.”
Kubawa mama ke kamar mandi dan kami mandikan sambil berdiri. Mama tak protes saat
kusabuni memeknya, bahkan seperti menikmatinya. Saat akan kuraih handuk, Yana
melarangnya.
“Biar dia basah dan kering sendiri.”
Mama dibawa kedapur dan diberi makan dan minum.
“Enakan sekarang?” tanya Yana.
“Iya, makan dan mandi bikin seger. Makasih.”
“Bagus. Jadi udah siap pake ember.”
“Oh, belum cukupkah aku disiksa? Aku telah berbuat baik dan melakukan apa yang
disuruh.”
“Ya maaf aja. Lagian gak kan kami lakuin andai lu gak lakuin itu ke Kiki.”
Aku terkejut saat mama bilang, “iya, kurasa aku berhak mendapatkannya.”
Yana menyuruh mama berlutut lantas mengikat ember ke kail di memek mama. Mama
tersentak saat berdiri meski ember itu tak berat – berat amat. Bahkan bibir memek mama
agak tertarik sedikit. Yana mengisi ember dengan air dan menyuruh mama jalan
mengitari dinding ruangan. Kami tertawa melihat mama berjalan dengan lucu, kakinya
dilebarkan agar pahanya tak menyentuh ember.
Mama mulai mengangis di putaran ke tiga, setelah embernya tiga kali diisi air. Pada
putaran keempat aku mulai memperhatikan memeknya. Terdapat lubang kecil di tempat
kail pancing. Bibir memek mama pun telah sangat lebar, kira – kira selebar lima jari
melorot ke bawah.
Pada putaran kesembilan, salah satu kail merobek bibir memek mama menyisakan tiga
kail yang masih mengait. Robekan itu menyebabkan mama berteriak dengan
mengerikan. Mama lantas berlutut sambil menangis. Kami mendekat dan melihat darah
mulai mengucur.
Kubilang Yana bahwa ayah punya sejenis serbuk untuk menghentikan pendarahan yang
selalu digunakan ayah saat berdarah setelah bercukur. Aku lantas mengambilnya. Saat
kembali, kulihat mama sedang berbaring menangis dengan kaki terbuka lebar. Yana
lantas menaburi serbuk itu ke memek maka.
Mama langsung berteriak, “panas… panas… panas… pada diri …”
***
Kami biarkan mama istirahat selama beberapa hari hingga lukanya sembuh dengan
sendirinya. Namun tetap ngentot anus atau mulut mama. Kami juga membuat mama
memohon agar hanya dihukum susu, perut atau pantatnya saja.
Aku lantas bertanya kenapa mama sangat membenciku. Mama jawab karena aku tak
lahir sebagai perempuan. Mama tak pernah suka anak lelaki. Mama juga menikah akibah
hamil duluan, telat tiga bulan, gara – gara pacaran suka gelap – gelapan.
Akhirnya aku paham kenapa aku sangat dibenci, meski aku merupakan darah dagingnya
sendiri.