Kasih Sayang Mama Part 3

Aku teringat bu rahma. Kukatan ke Yana tentang dia. Juga dia akan menelepon hari
jumat untuk memastikan kedatangannya di hari sabtu. Yana lantas panik menyadari
kemungkinan kebocoran informasi. Lantas kuberitahu lagi bahwa mama dan bu rahma
merupakan orang yang tak suka sosialisai, apalagi sama tetangga.
Aku juga beritahu tentang kekayaannya. Yana senang, lantas menyambungkan kabel
telepon lagi.
“Lu boleh pegang telepon kalau susulu mau gw bakar,” kata Yana mengancam mama.
Mama percaya dan berjanji takkan melakukannya.
Esoknya bu rahma benar – benar menelepon. Kuangkat dan kubilang kalau mama
sedang diluar. Kubilang juga mama menyuruhku mengangkat telepon dan bicara ke bu
rahma kalau mama sangat mengharapkan kedatangannya esok hari.
Bu rahma terdengar senang. Juga bilang akan bawa anaknya. Dia akan datang sekitar
jam delapan. Apa mamamu akan keberatan kalau bu rahma di sana lebih lama lagi,
tanyanya.
Kujawab bahwa bu rahma boleh tinggal selama yang diinginkan. Gak selama itu,
katanya, mungkin selama sebulan, lanjutnya. Kujawab kalau mama ingin agar bu rahma
pindah saja dan tinggal dengan kami. Bu rahma tertawa dan bilang setidaknya aku akan
punya teman main.
Aku menjawab sekenanya untuk menyenangkan dia, namun Yana dan Rudi ikut senang
juga. Yana bilang kalau mereka akan sembunyi di kamar, lantas ngintip dari sana. Mama
mesti kubawa ke dapur menjauhi pintu.
Jam delapan bu rahma benar – benar datang. Kubiarkan masuk. Bu rahma masuk sambil
memegang rantai yang terpasang ke leher anaknya. Anaknya membawa keranjang besar
berisi perkakas untuk menyiksa. Kutaksir umur anaknya kira – kira tiga belas tahun.
Tubuhnya mungkin besar melihat dari bajunya yang longgar dan celananya yang besar.
Aku menyuruhnya langsung ke dapur untuk melihat mama, namun dia malah berkata,
“sebentar lagi. Aku ingin kamu lihat teman barumu. Ayo lepas bajumu!”
Anaknya tanpa protes mulai melepas kancing bajunya satu – satu. Setelah itu dilepasnya.
Anak itu memiliki susu! Dan saat celananya lepas, tak ada kontol di situ! Yang ada
hanyalah memek tanpa jembut, dikelilingi tanda merah, yang kuyakin merupakan bekas
sundutan rokok. Dia lantas disuruh merangkak seperti anjing menuju dapur.
Setelah agak dekat dengan dapur, Yana muncul dari kamar langsung menodong bu
rahma, “diam lu anjing!”
Bu rahma lantas diam terkejut, tanpa suara. Mama keluar dari dapur, telanjang. Bu
rahma tentu melihat bekas cambukan dan luka di tubuh mama, “apa yang terjadi pada
dirimu, siapa mereka ini?”
“Mereka residivis kambuhan spesialis maling ayam tetangga.”
Bu rahma memperhatikan Yana dan Rudi, lantas bicara, “mereka bukan residivis, tapi
buronan. Kemarin beritanya ada di tv. Di bui mereka juga bunuh sipir biar bisa kabur.”
“Ya… ya… makasih beritanya,” kata Yana. “Yang penting kita aman di sini.”
“Ya tuhan, mulutku bisa bikin celaka. Kamu pasti berusaha kabur lantas dipukuli
sedemikian rupa.”
“Gak, aku gini karena dihukum karena nyiksa Kiki.”
“Oh tidak, kayak aku nyiksa Ani?”
“Lu bener. Lu berikutnya. Lu udah jelek, pasti gak peduli kita tambahin bekas luka lagi.”
Kulihat bu rahmat gak begitu jelek andai berpakaian yang selayaknya meski memang
tubuhnya gemuk.
“Buka baju lu, biar lu tau tempat lu.”
“Jangan siksa saya, saya takkan melawan.”
Bu rahma lantas melepas pakaiannya. Terlihat lemak di perutnya.
Rudi melihat – lihat isi tas yang dibawa Ani. “Lihat nih,” katanya.
Rudi mengeluarkan cambuk dari kabel.
“Biasa dipakai di pantat,” Ani bicara. “Lihat nih efeknya, lebih dahsyat dari efek rumah
kaca.” Ani berbalik dan menunjukan bekas luka di paha dan pantatnya.
Rudi mengeluarkan empat kali besar.
“Biasa dipasang ke memek dan susu, terus diangkat untuk menggantungku. Lihat nih
lubangnya.”
Kulihat memek dan susunya, ternyata benar berlubang.
Rudi mengeluarkan tongkat.
“Tongset, alias tongkat setrum. Biasa dipakai nyetrum memek atau pantatku. Kadang
aku pingsan dibuatnya.”
Rudi mengeluarkan cambuk kulit.
“Biasa dipakai untuk mencambuk diri sendiri. Kalau gak keras, bakal dipakai olehnya
mencambuk memek dan putingku.”
“Benar,” akhirnya aku buka suara. “Aku juga suka disuruh nyambuk sendiri.”
Rudi mengeluarkan sekotak paku payung.
“Biasa disebarkan di lantai. Lantas aku disuruh berbaring dengan susu dan memek
mengenai sebaran paku payung. Paku payung itu mesti nempel. Tentu sulit, saat bangun,
langsung dapet lima cambukan. Mengerikan.”
“Berapa umurmu nak?”
“Dua belas jalan, mau tiga belas.”
“Untuk bocah seumuranmu, susumu termasuk besar.”
“Normalnya gak segede gini. Mama selalu pake jarum suntik dan menyuntikan carian
garam. Efeknya tiap hari makin gede.
“Oh, jadi itu gunanya,” Rudi mengangkat jarum dan suntikan tipe besar. Serta sebuah
larutan, namun bukan larutan yang ada binatang atau beberapa kaki.
“Ya, katanya mau iket kontol Kiki agar masuk ke celah pantat. Terus nyuntik pangkalnya
biar kayak perempuan. Mungkin juga bikin susu Kiki jadi gede.”
“Luka di memekmu karena apa?”
“Sundutan rokok. Mama menyuruhku memohon agar menyundut lagi, kalau tidak
nubinku bakal disundut.”
“Apaan tuh nubin?”
“Yang kecil di sini,” Ani menunjuk itilnya, “yang sangat sensitif.
“Oh, itu namanya itil. Kayak kontol kalau di anak laki.”
“Ya terserah. Kalau di elus nikmat, tapi kalau ditusuk jarum sakit sekali.
“Apa kamu dipaksa melakukan hal – hal seksual?”
“Belakangan ini mulai jarang dengan lelaki. Mama punya pacar, hingga pacarnya pindah
ke luar kota. Mama suka nyuruh aku duduk di atas kontolnya, sementara susuku diremes
mama hingga lakinya keluar. Dia juga kadang membuat anusku berdarah. Namun kini
aku malah rindu dia, karena kini satu – satunya seks yang terjadi ya aku disuruh menjilati
memek mama.
Rudi kembali mengeluarkan barang, kali ini dildo dengan ujungnya memasang bola
besar.
“Itu untuk Kiki. Masukan ke anus, lantas pompa bolanya. Dildo otomatis membesar. Anus
dijamin membesar plus berdarah. Pantatku telah berkali – kali dipasangi itu hingga bisa
kalian pake.”
“Kebetulan nih,” kata Yana. Dia lantas mengeluarkan kontol dari celananya.
“Gak masalah,” Ani menambahkan. “Bisa pake pantatku. Aku mulai menyukainya meski
sambil susu dicambuk.”
“Gw gak doyan bocah. Tapi Kiki mungkin suka. Gimana?”
“Boleh juga, dia lumayan lucu. Tapi memekku masih kekecilan kayanya. Pacar mama
juga bilang kalau mulutku boleh juga.”
Luar biasa percakapan ini.
“Mau mukul mamamu gak?” tanya Yana ke Ani.
“Entahlah. Takut dia akan membalasnya, bahkan mungkin lebih dari yang kulakukan.
Tapi kau boleh saja. Mau bunuh dia juga gak masalah. Biar aku bisa tinggal sama ayah.”
Bu Rahma berteriak, “dasar nakal. Kamu akan menyesalinya.
“Tidak,” kata Yana. “Ambil tongkatnya.”
Rahmat berteriak, “Kamu sedikit jalang. Aku akan membuat Anda menyesal!”
Yan mengatakan, “Tidak, kau tidak akan! Ambil Rod nya.”
Bu rahma berontak saat tangannya diikat di belakang punggung, namun tenaganya jelas
kalah. Dia dibawa ke garasi, sementara aku membawa tas Ani.
“Apa mereka akan memukulnya sampai payah?” tanya Ani padaku. Kami berjalan
berdampingan.
“Oh ya.”
“Oh.”
Mereka mengambil kail besar dan mengail puting dan bibir memek bu rahma. Bu rahma
tentu berteriak sambil menangis. Kail di susunya diikat, lantas ditarik ke atas hingga
berbentuk seperti es kon. Saat hampir robek, Yana menghentikan tarikannya.
Yana mengikat selangkangan bu rahma, lantas menariknya ke atas hingga kakinya tak
menyentuh tanah. “Punya tusuk sate gak?” tanya Yana.
“Ada,” kataku lantas berlari mengambilnya. Mama duduk di sudut sambil menangis.
Mungkin mengira dia selanjutnya. Kuberi tusuk sate ke Yana.
Yana menusuk tiap susu Bu Rahma dengan enam tusukan. Kail di memek Bu Rahma
dipasangi ember. Ember itu lantas diairi membuat bibir memek bu rahma
menggelambir.
Mereka kemudian menarik itilnya dengan tang dan menusuknya dengan jarum. Bu
Rahma langsung pingsan. Mereka mengguyurnya hingga bangun dan kembali menjerit
lagi. Mereka ambil kabel dan melilit itinya hingga seperti kontol terlilit. Itil itu kembali
diikat ke kember dan diisi air lagi.
Yana menatap memek Bu Rahma, “gw gak doyan liat jembut.”
“Ada minyak tanah di sudut.”
Bu rahma mulai berteriak jangan, namun mereka membasahinya dengan minyak tanah
lantas membakar jembutnya.
“Lebih parah dibanding rokok,” kata Ani.
Jembutnya habis dan memek serta itilnya jadi merah gelap. Bu rahma pingsan lagi saat
api dimatikan. Namun Rudi mendekatkan garam ke hidung bu rahma hingga kembali
sadar.
“Memeknya pasti sensitif,” kata Yana. Dia lantas mengambil cambuk kabel dan
menyambuk memeknya hingga berdarah dan tentu, pingsan lagi.
Bu rahma kembali disadarkan. “Itilnya kepanjangan,” kata Rudi. Mereka lantas
memotong itilnya hingga ember dipenuhi darah sementara mulutnya menjerit – jerit.
Tali yang mengangkatnya lantas digunting dan Bu rahma jatuh seperti batu. Kail di
susunya merobek kulit dan dia mengerang di lantai.
Rudi menyuruh bu rahma bangun, namun bu rahma hanya mengerang. Rudi mengambil
tongset (tongkat setrum) dan menyetrum memeknya menyebabkan bu rahma kelejotan
hingga meninggal.