Kasih Sayang Mama Part 4

“Parah,” kata Yana, lantas menatap Ani, “maaf nak.”
“Gak apa – apa, kini gak ada lagi yang bakal menyiksaku.”
Yana dan Rudi lantas menghilangkan mayatnya. Entah bagaimana aku tak pernah
bertanya. Setelah kembali, Yana melihat mama yang ketakutan. “Tenang, gw gak bakal
bunuh lu,” katanya.
Mama kini agak santai.
“Aku bener – bener seneng,” kata Ani. “Mau pake mulutku gak, sebagai tanda
terimakasih.”
“Buat Kiki aja. Gw mau latih dia dulu.”
Ani mentapku, “mau?”
“Boleh, tapi ntar. Pingin liat pelatihannya dulu.”
Mama disuruh nungging kayak anjing, lantas Yana mengambil kotak paku payung. “Rudi
ngentot lu dari belakang, sementara lu isep kontol gw. Selagi lu isep, gw pasang nih paku
ke susulu sampai gw keluar. Setelah itu, gw pecut memeklu sebanyak paku yang
tertancap.”
Mama menangguk dan saat paku payung pertama ditempelkan mama langsung
menghisap kontol Yana. Yana terus memasang pakupayung dari kotaknya. Ternyata,
dengan motivasi berlebih tak butuh waktu lama bagi mama membuat mereka keluar.
Saat menghitung, ada tiga puluh paku payung di susunya.
Yana ambil bantal dan menaruh di meja. Mama lantas tidur di meja dengan pantat di atas
bantal, kaki dilebarkan hingga memeknya terlihat jelas. Yana menyuruh mama
melebarkan bibir memek dengan tangannya. Terlihat memeknya dan itilnya
mengembung.
Yana tak memecut dengan keras, namun karena sensitif mama mulai terisak, menangis.
Setelah lima belas kali, Yana menduduki susu mama dan mulai memecut lagi. Kini ujung
pecut tentu mengenai anus mama. Sekali tangan mama lepas dari bibir memeknya,
namun langsung dipegang lagi. Setelah selesai, terlihat seperti lebam dan memeknya
bengkak.
“Wow, dia benar – benar berani. Kalau mama mesti ngiket kakiku dulu agar terbuka saat
mecut memek.”
“Ya, tapi mungkin pecutan dia tak sekeras pecutan mamamu.”
“Bisa jadi. Jadi gimana, mau sekarang? Kalau gak enak kamu boleh pecut memekku.”
“Iya,” kulepas celana dan Ani mendudukanku di kursi. Dia ingin aku merasa nyaman,
katanya.
Isepannya jauh lebih nikmat dari isepan mama. Lidahnya serasa bergetar menggoyang
helm kontolku. Kontolku lantas dimasukan hingga mentok, membuatku keluar. Pejuku
lantas ditelannya.
“Mau mecut memeku?”
“Gak dong, yang barusan, luar biasa.”
“Mau yah, di tas ada cambuk karet. Bahkan belum pernah dipakai.”
“Yakin nih?”
“Iya, lagian kalau sakit, aku pasti bilang dan kamu pasti berhenti kan?”
“Tentu.”
Ani mengambil cambuk karet dari tas, lantas mengambil jepitan lagi. Jepitan itu
dipasang di bibir memeknya, kanan kiri. “Coba ya.” Ani berbaring di kursi, sehingga
memeknya seperti terangkat, lantas melebarkan kakinya.
“Mau berapa kali?”
“Terus aja sampai aku bilang stop.”
Aku mulai memecut dengan pelan. Ujung pecut mengenai itilnya. Ani lantas mengerang
sambil bilang, “lebih keras.”
Kuturuti kata – katanya. Setelah beberapa kali, nafasnya mulai cepat, hingga tubuhnya
mengejang dan bilang stop.
Kuhentikan aksiku. Ani tersenyum padaku, “aku keluar, nikmat.”
Ternyata Ani telah terbiasa dalam sakit. Bahkan saat sedang ngentot. Jika dia diatas
tubuhku, aku disuruh memecut susunya. Sedang saat pake gaya anjing, aku disuruh
mencubit putingnya.
Beberapa hari kemudian, susunya kembali mengecil. Dia malah memintaku
menyuntiknya. Aku turuti, bahkan dia tak menangis saat jarum masuk. Setelah empat
suntikan, susunya kencang lagi.
***
Suatu hari, mama berkata, “mama telah belajar ngentot dan ngisep kontol dengan baik.
Mereka mulai menyukai mama. Tiap hari mama hanya sekali dihukum. Mama tau
mereka takkan membunuh mama. Nanti kamu rasakan pembalasan mama.”
Apa yang mama katakan lantas kukatakan ke Yana. “Dia bercanda. Dia baru aja dihukum
pake senapan.”
“Aku punya ide,” kataku. “Dia pernah bikin pagar setrum dan menyetrum testisku.
Sakitnya tuh di sini,” aku menunjuk selangkangan, “di dalam testisku.”
“Benar – benar cemerlang idemu. Apalagi sekarang musim hujan. Cocok.”
Mereka menyeret mama keluar. Mama terus merengek dan bilang kalau dia takut
setrum. Yana menyuruhku mematikan setrum pagar saat tangan mama diikat di
belakang punggungnya. Mereka mengangkatnya hingga mama berdiri diantara pagar.
Jika mama berjinjit, maka selangakangannya takkan kena pagar. Namun apabila berdiri
biasa, memeknya seperti menduduki pagar.
Setrum kunyalakan. Mudah melihat apakan mama kena setrum. Saat peruttnya
mengejang dan mama menjerit, berarti kena setrum. Namun beberapa saat kemudian,
mama tak kuat lagi dan selangkangannya terus mengenai pagar. Dari memeknya
mengucur cairan.
“Sial, cewek gak punya testis sih,” kata Yana.
Kumatikan setrum dan mereka mengangkat mama. Wajahnya seperti wajah saat mama
selesai dientot mereka. Memang setrum di pagar tak mematikan, ada sejenis saklar
pengaturnya, namun tetap bikin gak enak.
“Siapa yang ngizinin lu duduk di pagar hah? Gw naikan lagi nih teganganya.”
Mama kembali diletakan di atas pagar. Tegangan dinaikkan oleh Yana. Namun naas, saat
setrum dinyalakan, mama tak kuat berjinjit hingga mati tersetrum.
Setrum dimatikan, mama diturunkan. Yana lantas menatap kami. “Beri waktu sebentar,
abis itu kita pergi dan kamu boleh telepon polisi.”
“Santai aja, gak pergi juga gak apa – apa,” kataku.
“Bener nih?”
“Iya.”
Mereka lantas membuang tubuh mama. Setelah itu, mereka mengisi mobil dengan
perbekalan dan pergi menjauh untuk tak kembali.
Aku dan Ani menikmati hidup selama beberapa minggu. Dia senang jadi budakku.
Setelah itu, kami putuskan pulang ke ayah masing – masing. Kami ke kota dan menemui
polisi yang sedang menilang sebuah motor. Entah kenapa aku tak tahu.
Kuceritakan semua dengan beberapa penyesuaian, mengkambing hitamkan Yana dan
Rudi. Kami juga bilang kalau mereka baru saja pergi tadi.
Mereka lantas mengirim kami ke psikiater. Kami dinyatakan sebagai korban dan harus
menjalani perawatan pasca trauma. Ayahku dan ayahnya lantas sepakat jika kami mau
saling mengunjungi.
Saat kami sedang berdua di rumah, kami lakukan kesukaan kami.
Hidup sungguh penuh dengan pelbagai kemungkinan.
Selesai